Ada kajian Dhuha di masjid dekat rumah Ali, tiga pemuda yang baru saja menyelesaikan shalat Dhuha menunda pergi, mereka kembali duduk di antara para jamaah yang hadir. Fatih dan Ilyas sengaja menginap sehari sampai dua hari di rumah Ali yang bertepat di Menteng. Ibunya Ali senang sekali dengan kehadiran kawan-kawan anaknya, melihat kawan-kawan Ali seperti melihat anak sendiri, sang ibu bahkan memasakkan menu-menu spesial demi menyambut kedatangan anak dan dua tamunya tersebut.
Kajian yang dijadwalkan sepekan sekali itu akhirnya usai tepat pukul delapan pagi, Fahmi bergegas keluar masjid sebab perutnya sudah sangat lapar, Ali menyusul, sementara Ilyas menghentikan langkahnya sejenak ketika melihat kotak amal di dekat jendela. Ia merogoh kantongnya. Alhamdulillah, dia memang selalu membawa uang kertas puluhan ribu ketika keluar rumah. Ia ingin beramal pagi ini dengan berinfaq di masjid ini.
Dahulu sewaktu dia kecil, Ummi selalu menyisipkan uang kertas lima ribuan ke saku celana Ilyas dan kakak-kakaknya, lalu Ummi membisikkan sesuatu pada telinga anak-anaknya; yang intinya Ilyas dan sang kakak harus berinfaq di masjid ketika melihat kotak amal. Kebiasaan yang ditanamkan Ummi sejak kecil masih melekat hingga sekarang. Dari sana Ilyas berharap ada pahala yang terus mengalir untuk sang ibunda dan ayahanda tercinta.
Ali kembali menemui Ilyas, ia tersenyum melihat sahabatnya terus mengumpulkan amalan jariyah.
"Ada apa, Li?" tanya Ilyas, mereka kini menuruni anak tangga bersama.
"Sandalku tidak ada, Yas. Padahal tadi letaknya di dekat sandal kalian." Jawab Ali santai.
"Ah, kamu sih tadi pakai sandal yang bagus. Yang jepit biasa saja harusnya, Li." Fatih pun menghampiri Ali, ia menepuk-nepuk punggung kawannya.
Ali menjawab. "Sudahlah, sudah takdirnya hilang mungkin." Ia terlihat ikhlas dan menerima bahwa sandal yang ia pakai lenyap di halaman masjid. "Jadi ingat kata Syaikh Nuzul, bahwa tempat yang suci seperti ini belum tentu mensucikan manusia dan perbuatannya, buktinya masih ada saja manusia yang mau mengambil hak orang lain."
Fatih tersenyum sekilas, "wah jadi ingat zaman kita masih Aliyah ya, Yas. Waktu itu HP-mu juga raib di masjid Agung Semarang, kan?"
Ilyas mengangguk. "Iya, waktu sedang mengambil air wudhu tiba-tiba HP di dalam tas yang aku tinggal di gantungan lenyap." Ilyas menepuk bahu Ali. "Wis tho, ikhlaskan saja. Sudah hilang juga, kan? Anggap itu amalmu pagi ini, sodakoh bermanfaat... karena siapa tahu yang ngambil memang ndak punya sandal dan lebih butuh."
Ali nyengir, Fatih ikut mesem-mesem melihat temannya tidak pakai alas kaki.
"Mau pakai sandalku saja, Li? Atau mau sebelahan?" tawar Fatih.
"Syukron, Tih... sekali-kali merasakan aspal Jakarta, lagi pula sudah lama kakiku ini tak menginjak aspal dan tanah."
Mereka bertiga segera pulang, berjalan kaki sekitar sepuluh menitan menuju rumah Ali. Sampai di rumah mereka disambut hidangan yang sangat lezat dari ibunya Ali, namanya Ibu Dewi. Beliau seorang pengusaha catering yang juga pandai sekali memasak. Tempat usahanya memiliki pegawai yang lumayan banyak, beliau melanjutkan usaha suaminya yang sudah almarhum empat tahun lalu.
"Jangan buru-buru pulang, menginap semalam atau dua malam lagi saja di sini." Kata Bu Dewi pada Fatih dan Ilyas. Ia menyendokkan nasi banyak-banyak pada kedua pemuda itu. "Ibu senang sekali Ali ini punya kawan-kawan seperti kalian, sering-sering mampir ya, Nak."
"Insya Allah, Bu. Terimakasih banyak lho, Bu, sudah repot-repot masakin kami seperti ini. Jadi tidak enak saya." Jawab Fatih. Dalam hati ia bersyukur, betapa banyaknya hidangan yang ada di hadapannya itu, matanya berbinar-binar. "Pasti kalau disuruh mampir lagi saya senang sekali, Bu. Apalagi kalau disuruh mencicip masakan Ibu yang nampaknya lezat begini."
Bu Dewi tersenyum senang, "semoga suka. Sebab masakan daerah kalian dan Jakarta pasti ada bedanya, kan?"
"Yang penting halal dan toyib. Iya, kan, Yas? Diam saja kamu ini." Ujar Ali melempar tatapan pada Ilyas.
"Ah, aku tahu, Li. Dia lagi mikirin Ummi dan Abahnya, dia sudah sangat rindu." Ujar Fatih sembari mengambil lauk di depannya. "Oh ya, Yas. Katanya mau mampir ke asrama adikmu yang kuliah di LIPIA itu, jadi?"
Ilyas mengangguk. "Insya Allah, siang ini rencananya aku ke sana, sendiri saja. Sebab tidak boleh bawa orang lain masuk kecuali kerabat dekatnya."
"Bagus itu, jadi biar adikmu itu aman dan tidak banyak bergaul dengan kawan laki-laki." Tukas Fatih bercanda. Dia pun nyengir lebar.
"Kamu ini, mana mau adikku punya banyak teman laki-laki. Sekarang dia itu sibuk mengajar tahsin di Nurul Iman, Tih. Suruh sebentar ketemu masnya saja susah sekali, jadwalnya padat lah, inilah, itulah... dia bilang, dia yang mau pulang pekan depan pas kuliahnya libur, tapi akunya yang sudah tidak sabar bertemu dengan dia."
Bu Dewi dan Ali sibuk mendengarkan, perbincangan akhirnya berhenti sejenak saat mereka makan dan berlanjut di pelataran rumah Ali yang begitu luas. Ada taman yang ditumbuhi rumput, bunga dan hijau-hijauan yang sangat asri sekali. Membuat mata yang memandang menjadi segar, pikiran pun menjadi fresh.
Siang itu Ali mengantar Ilyas ke halte bus untuk menemui adiknya, mereka boncengan motor berdua. Sepanjang jalan Ali menceritakan tentang masa-masa sekolahnya di SMA Negeri yang mengambil jurusan Bahasa dan tidak pernah kepikiran untuk melanjutkan ke Mesir apalagi belajar ilmu syar'i. Sampai suatu hari ayahnya mendadak sakit dan sering dirawat di rumah sakit. Ayahnya berpesan agar Ali mulai belajar ilmu agama dengan baik, jika mengambil kuliah maka fokus pada ilmu-ilmu syar'i. Dari sana Ali mulai mendalami bahasa Arab agar bisa kuliah sampai ke Mesir dan ia mengajak karibnya, Paul, untuk ikut ke sana dengan jalur beasiswa.
"Aku sudah berangkat setahun sebelum Paul ke sana, Yas. Qodarullah aku gagal seleksi di tahun itu, beberapa data tidak lengkap dan harus kembali mengurus-urusnya di Indonesia. Tapi Alhamdulillah akhirnya aku bisa lolos di tahun berikutnya bareng Paul. Luar biasa hidup ini ya?"
"Semua karena ridho Allah Ta'ala, Li."
"Benar, Yas. Semoga niatku mencari ilmu sejauh itu bisa menjadi ladang amal ayahku ya, Yas."
"Amin." Ilyas mengamini sambil menepuk pundak sahabatnya. Motor itu berhenti di seberang halte bus, "syukron, Li. Aku kembali sore atau malam saja, nanti aku kabari."
"Afwan." Ali mengangguk,melambaikan tangan sambil mengucap salam.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALWA (Novel Religi)
SpiritualTAMAT Setelah sekian lama, ribuan purnama, jutaan hari, miliyaran detik... akhirnya aku kembali membuat FIKSI ISLAMI untuk pembacaku tersayang. Semoga suka dengan cerita ini, terhibur, jadi teman metime. Follow akun ini. Vote tiap bab Comment hal-ha...