Bagian 29

572 66 1
                                    

Ali, Halwa dan Gina sudah beridiri di depan ruangan Ilyas. Mereka tidak lekas masuk ke dalam, Ali menyuruh Halwa yang masuk lebih dulu, Halwa menolak. Ia justru duduk disebuah bangku panjang di lorong ruangan itu, tangannya tergenggam, terasa dingin dan kaku.

Pintu ruangan itu terbuka, semua nampak kaget. Ali merasa lega saat mengetahui siapa yang baru keluar dari ruangan itu, beliau adalah Bu Nyai, Ali lantas tersenyum pada perempuan paruh baya di depannya. Tak lupa, ia mengenalkan dirinya pada Bu Nyai Sarah, Bu Nyai menyambutnya dengan sangat senang dan menyuruh Ali segera masuk karena Ilyas juga sudah bercerita kalau temannya akan datang.

"Tidak, Bu. Saya nanti saja, ada yang lebih Ilyas butuhkan daripada saya."

"Apa maksudnya, Nak?"

Ali mengajak Bu Nyai berjalan ke deretan bangku panjang, Bu Nyai melihat dua perempuan muda. Salah satunya segera memberi salam hormat padanya, sementara yang satu lagi masih diam mematung.

"Ummi..." sambut Halwa yang sudah berdiri.

Tatapan mereka beradu untuk beberapa saat lamanya sampai Bu Nyai menyadari pemilik sorot mata itu.

"Halwa...?"

Halwa segera memeluk tubuh Bu Nyai Sarah yang sangat ia cintai itu. Bu Nyai tidak kalah erat memeluk santrinya yang sangat ia rindukan. Sebuah pertemuan yang mengharukan akhirnya terjadi, mereka saling melepas rindu dengan pelukan dan air mata berlinang. Halwa melepas pelukannya, ia mencium tangan kanan Bu Nyai, sementara tangan kiri Bu Nyai menyelus-ngelus kepala Halwa.

"Kemana saja kamu, Nduk? Kamu tidak ingat Ummi apa, kok ndak pernah dolan ke pesantren."

"Maafkan Halwa, Mi... maaf..."

Bu Nyai mengusap air mata Halwa. Menyaksikan itu mata Gina pun turut berkaca-kaca. Ali merasa tak enak menyaksikan pertemuan mengharukan itu, ia melangkah pergi mencari udara segar.

"Ummi maafkan kamu, Nduk... asal kamu juga maafkan Ummi ya, Nduk? Ummi pasti juga punya salah sama kamu."

"Tidak, Ummi... Halwa yang salah," lirih Halwa. Suara itu masih terdengar selembut dulu, Bu Nyai senang sekali melihat Halwa sudah berada di depan matanya.

"Ya sudah, ayo kita masuk. Pasti Ilyas senang bisa dijenguk sama kamu, Nduk. Tapi kamu jangan kaget ya nanti, dia itu nambah kurus."

Halwa mengangguk, ia menoleh ke arah Gina.

"Mbak saja yang masuk, aku nunggu di sini saja. Tidak apa-apa, Mbak."

"Terimakasih ya, Na."

Setelah Gina mengangguk Halwa dan Bu Nyai segera masuk ke kamar rawat Ilyas. Bu Nyai mengetuk pintunya pelan, Ilyas saat itu masih membuka-buka buku bacaannya. Ia menoleh. "Lho, Ummi katanya lapar dan mau ke kantin. Kok cepat sekali, Mi?" ujar Ilyas yang tak menyadari keberadaan orang lain di sana.

Bu Nyai berjalan mendekat, di belakangnya ada seseorang yang masih tertunduk. Wajahnya yang tertutupi oleh cadar tidak dapat Ilyas kenali dengan baik.

"Ummi bawa siapa, Mi?" Ilyas menatap punggung tangan tamunya, begitu putih dan bersih.

Bu Nyai berdeham, lalu tersenyum. Membuat Ilyas sungguh bingung, namun saat Bu Nyai agak menyingkir dan Ilyas bisa melihat perempuan itu dengan jelas, melihat alis dan sepasang bola mata yang tertunduk, jantung Ilyas rasanya berdesir-desir. Ia kembali memanggil umminya, "Mi?"

"Ini... Halwa." Jawab Bu Nyai Sarah.

"Halwa?" seperti tidak percaya, Ilyas memanggil nama itu untuk memastikan bahwa gadis yang berdiri di samping umminya benar-benar Halwa.

"I—iya, Gus." Jawab Halwa gugup, ia masih berdiri diposisinya, tak bergerak sedikitpun. Bola matanya tak berani menatap laki-laki yang sedang terbaring di depannya. Ia sungguh tidak tega melihat kondisi Gus Ilyas saat ini.

Perasaan Ilyas saat itu benar-benar sulit dijelaskan. Rasanya senang, melihat ada sosok Halwa di dekanya, ia merasa teduh, hatinya saat itu terus berdesir halus. Halwa yang ia lihat sekarang telah menutup wajahnya dengan sehelai kain putih, berjilbab putih dengan motif bunga-bunga kecil. Sungguh anggun dan elok. Spontan lisan Ilyas bertanya padanya.

"Kamu belum menikah, kan?"

Pertanyaan itu membuat air mata Halwa otomatis mengalir, dia menggeleng pelan.

"Halwa..." Bu Nyai sepertinya agak kaget dengan reaksi Halwa atas pertanyaan anaknya, Ilyas. Padahal beliau masih berharap bahwa Halwa benar-benar dapat menjadi menantunya dengan menikahi Ilyas.

"Maafkan aku, Gus, Bu Nyai.... Aku tidak pernah bercerita bahwa aku sudah pernah menikah sewaktu di Jakarta dan kini aku sudah bercerai karena..." Halwa tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia menundukkan wajahnya semakin dalam, bahunya sedikit berguncang.

Bu Nyai tidak tega melihat Halwa menangis, beliau pun mendekat dan memeluknya.

"Ummi tahu tentang ini, Mi?" Ilyas menatap umminya. Ada rasa sedih bercampur kecewa dalam sorot matanya. Perasaannya mendadak kacau, hatinya benar-benar berubah menjadi gelisah.

"Tidak. Ummi pun baru mendengar semua ini." Jawab Halwa dengan air mata deras mengucur. Ia masih dalam pelukan Bu Nyai yang ia cintai.

"Kenapa suamimu menceraikanmu?" tanya Ilyas hati-hati. "Apa yang terjadi, Halwa?"

Halwa menggelengkan kepalanya, tak sanggup menjawab. Harusnya yang menjelaskan semua ini adalah mantan suaminya, Ali.

"Apa dia bersikap kasar padamu?"

"Tidak, Gus. Dia sangat baik, tetapi..." Halwa mengangkat wajahnya dari pelukan Bu Nyai, ia menghapus butiran-butiran air matanya. "Dia lebih mencintai saudaranya ketimbang mencintai diriku sebagai istrinya, pernikahan kami hanya berjalan singkat. Maaf, seharusnya aku tidak perlu menceritakan ini. Aku telah membuka aibku sendiri..."

"Apa maksdunya, aku tidak paham, Halwa."

"Gus... jika Gus Ilyas berkenan, dia ingin bicara denganmu juga. Aku datang kemari bersamanya."

"Tidak! Aku tidak mau bicara dengan laki-laki yang berbuat seperti ini padamu, kau tidak pantas diperlalukan seperti ini, Halwa." Ilyas terlihat kecewa dan menolak permintaan Halwa.

"Tidak, Gus. Ini salahku, aku yang mau menikah dengannya saat itu. Aku tidak dipaksa oleh siapapun saat akan berpisah, ini semua atas kehendakku." Halwa mengangkat wajahnya, menatap wajah Gus Ilyas, mata pemuda itu berkilat-kilat karena marah. "Awalnya pernikahan kami memang baik-baik saja, namun setelah dia pergi ke Mesir untuk melanjutkan program S2 kemudian semua berubah. Aku tidak tahu apa yang harus aku jelaskan padamu.... dia ingin menyampaikan sesuatu padamu, Gus." Bujuk Halwa dengan penuh permohonan.

Penjelasan itu membuat Ilyas berubah pikiran, hatinya yang merasa kecewa akhirnya rela menerima tamu yang entah siapa orangnya. Yang jelas, dia marah terhadap laki-laki yang tega-teganya memperlakukan perempuan sebaik Halwa seperti ini.

"Baik. Mi, izinkan dia masuk." Ilyas menatap wajah Bu Nyai yang masih berdiri di samping Halwa.

Bu Nyai membukakan pintu, seorang pemuda seumuran dengan Ilyas akhirnya masuk dengan wajah tertunduk. Ilyas menelusuri wajah itu, dia mengenalnya. Detik berikutnya dia memanggil nama pemuda itu dan mereka sama-sama merasa kacau.

HALWA (Novel Religi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang