Bagian 16

467 51 0
                                    

Pemuda yang kini sedang duduk di serambi masjid Al Azhar kembali membuka pesan dari ibunya. Ia belum menjawab pesan itu sejak kemarin, ia tidak punya jawaban atas niatan baik ibunya.

Nak, ibu mau mengenalkanmu dengan seseorang. Ibu berharap dia bisa menjadi istrimu.

Ali menyandarkan kepalanya ke tembok masjid, ia butuh teman yang bisa memberinya solusi atas permintaan ibunya ini. Kebetulan sekali Ilyas lewat di depannya, pemuda itu baru selesai melaksanakan shalat Dhuha dan hendak kembali ke perpustakaan. Akhir-akhir ini Ilyas memang lebih sering berada di perpustakaan, membaca dan mencari-cari referensi baru untuk buku selanjutnya.

"Ilyas, kamu sibuk tidak?" tanya Ali, ia masih duduk di tempatnya.

Ilyas mendekat, duduk bersilah di depan Ali. "Kamu sedang ada masalah, Li? Dari kemarin kata Hamid kamu aneh. Ada apa?"

"Berarti kamu siap mendengar curhatanku ya?" Ali tersenyum cerah.

Ali adalah anak semata wayang dan tidak punya saudara, ia merasa sepi. Tidak bisa berkirim pesan, e-mail, atau telepon dengan kakak atau adiknya seperti Ilyas. Tapi ia tetap bersyukur, ia telah memiliki teman-teman yang baik di perantauan ini, bahkan sudah seperti saudara kandung sendiri. Sejak awal datang ke Mesir Ali lebih dekat dengan Paul karena berasal dari satu kota, namun setelah bertemu Ilyas, ia merasa lebih sering dan banyak bercerita pada Ilyas dibanding yang lainnya. Kalau menurutnya Ilyas lebih dewasa dan bisa memberikan masukan yang sesuai dengan masalah yang sedang mereka hadapi.

Ali sudah menceritakan tentang pesan singkat ibunya, Ilyas nampak sedikit kaget. Ali tidak sempat menangkap kekagetan Ilyas sebab dia terus menunduk saat bercerita, ia benar-benar bingung. "Jadi aku harus bagaimana, Yas? Menerima atau..." Ali mengangkat wajah dan menatap Ilyas lamat-lamat, "...mempertimbangkannya?"

"Kamu lihat dulu siapa gadis itu, kalau memang baik menurutmu dan menurut ibumu juga baik, kenapa tidak, Li?" Ilyas menepuk bahu sahabatnya.

"Tapi aku belum terpikir untuk menikah, Yas."

"Kan, ibumu baru mau mengenalkannya, Li. Bukan menikah sekarang toh?"

"Tapi, pasti beliau akan bahas masalah itu juga." Ali nampak tidak siap sama sekali.

Ilyas harus menjadi pihak yang benar-beanr netral meskipun dia ingin sekali mengenalkan adiknya pada Ali, teman baiknya yang sangat menjaga pandangan. Ali hampir tidak pernah terlihat sedang bersama seorang perempuan manapun kecuali dalam suasana ramai. Ia tidak seperti Fatih yang pernah jalan bertiga ke toko buku dengan dua mahasiswi dari Jawa Timur yang berkuliah di Al Azhar. Ali tidak punya teman perempuan satupun di sini. Dia terlihat pendiam bila berada di tempat-tempat ramai, tetapi dia adalah orang yang menyenangkan jika diajak berdiskusi.

"Kamu shalat Istiqarah saja, Li. Coba meminta petunjuk dan kemantapan dari Allah Ta'ala. Semoga ada jawaban terbaik yang Dia berikan."

Ali mengangguk.

"Eh, Li..." Ilyas menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya ada hal lain yang ingin Ilyas katakan, tentang dirinya dan perasaannya pada seorang gadis.

Ali menatapnya, menunggu kelanjutan kalimatnya. Sementara itu angin berembus agak kencang, mendesau-desau, menerbangkan debu-debuan.

"Aku ingin meminta pendapatmu, Li, tentang... seorang gadis. Aku sungguh tidak pernah sengaja memikirkannya, Li. Sungguh. Tetapi akhir-akhir ini dia selalu muncul di kepalaku, dia teman adikku, pernah nyantri di pesantren Abah dan sekarang bertemu lagi dengan adikku di Jakarta."

"Bagimana bisa? Kamu sudah berjanji akan fokus menyelesaikan kuliah sampai program S-2, lalu setelah itu baru menikah, kan?" Ali menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Ceritanya awal bagaimana, Yas?" ia jadi penasaran dengan kisah asmara sahabatnya ini.

"Jadi beberapa bulan yang lalu, adikku mengganti profile e-mailnya dengan sebuah foto. Itu foto dia dan seseorang yang aku kenal, dia itu ya... santri abahku itu. Entah kenapa aku jadi mengingatnya terus, aku sudah berusaha mengusir bayangan dia, bertemu saja jarang sekali saat aku pulang ke pesantren. Mengobrol saja tidak pernah, kecuali saat aku melihatnya di terminal hampir satu tahun yang lalu. Pokoknya aneh, hatiku rasanya seperti berdebar-bedar sendiri kalau sedang buka e-mail dan melihat fotonya diprofil adikku." Papar Ilyas dengan jujur.

Ali tersenyum, menepuk pundak Ilyas pelan. "Jangan-jangan antum naksir teman adikmu itu, Yas. Sudah, pulang sana dan tanyakan pada keluarganya apakah kamu boleh meminangnya?" Ali tertawa pelan. "Eh! Tapi tunggu dulu, kamu kan tetap harus lanjut S-2 baru bisa menikah, kan? Hayo, rencana awalmu itu bagaimana?"

"Sepertinya bukan hanya kamu yang harus shalat Istiqarah, aku juga perlu, Li."

"Hahaha... kalau setiap hari terus terbayag-bayang, mending kamu nikah saja dan S-2 sambil membawa istri. Toh tidak ada salahnya menuntut ilmu sambil membawa istri, siapa tahu dia juga mau kuliah di sini."

Ilyas mengangguk-angguk. Ia perlu berunding lebih dahulu dengan kedua orangtuanya di kampung halaman. Ini keputusan yang sangat besar dan rumit, tidak sehari atau dua hari lalu langsung jadi. Ini menyangkut masa depannya dan juga masa depan seseorang yang akan ia bawa ke dalam kehidupannya.

Sambil terus berpikir ia berdoa agar selalu dibimbing oleh Allah Ta'ala, sebab di dunia ini yang tahu segala yang terbaik hanyalah Dzat Yang Maha Kuasa yaitu Allah, manusia hanya bisa berencana dan meminta kebaikan.

***

Pengumuman kelulusan sudah keluar dua pekan setelah Ali dan Ilyas berbincang-bincang di serambi Masjid Al Azhar pada tempo hari. Lima orang penghuni flat sederhana itu berhasil mendapat gelar Licence dari Universitas tertua di dunia yaitu Al Azhar.

Mereka bangga sekali, usahanya selama ini telah membuahkan hasil. Bagi Ilyas, Ali, Fatih dan Hamid hasil mereka sungguh memuaskan, mereka memperoleh predikat mumtaz atau cumlaude. Sementara Paul masih di bawah mereka, ia tidak begitu kecewa, ia sadar diri karena sebagian waktu belajarnya untuk bekerja di rumah makan Melayu demi mencukupi kebutuhan hidupnya selama di Mesir.

Malam ini mereka merayakan keberhasilan itu dengan makan bersama di balkon flat. Paul membeli ayam bakar dekat tempat kerjanya, Hamid memasak nasi, Ilyas membeli minuman dingin dan jus mangga dari salah satu temannya yang berjulan di area flat ini, Ali dan Fatih baru saja pulang dari rumah kawan-kawannya yang juga merayakan kemenangan hari ini.

"Tidak ketinggalan ya, roti maryamnya. Paul, Paul..." ujar Hamid menertawakan Paul.

"Aku akan kangen semua ini, Mid. Apalagi ini." Jawab Paul sambil menunjukkan gigitan roti maryam di tangan kanannya.

"Setelah kembali ke kampung masing-masing atau tetap lanjut di sini, pokoknya jangan lupa saling mengabari." Kata Fatih sambil mencomot ayam bakarnya.

Hamid melirik Ilyas. "Insya Allah... biasanya yang paling suka menghilang itu kan Ilyas," sindirnya.

"Gampang, kita datangi saja rumahnya. Pasti dia tinggal disekitaran pesantren, kan?!" Ali menebak-nebak.

"Wah, belum tentu. Kalau tiba-tiba aku lanjut di Maroko bagaimana?" Ilyas menjawab dengan cengiran lebarnya.

"Terserah antum saja, mau di sini atau di sana. Yang jelas jangan lupa doa dan undangannya ya?" sahut Hamid yang segera disusul tawa teman-temannya.

"Amin, insya Allah."

Malam itu berlanjut dengan diskusi ringan seputar rencana-rencana mereka selanjutnya. Tidak terasa empat tahun sudah mereka menempuh pendidikan di negeri para Nabi ini. Tidak banyak orang yang seberuntung mereka, dapat menempuh sekolah sampai jenjang S1 di luar negeri pula. Setelah ini empat pemuda itu harus pulang ke kampung masing-masing kecuali Hamid. Tekadnya benar-benar bulat bahwa dia tidak akan pulang sampai ia berhasil tamat S2.

Follow akun ini, kamu akan selalu dapat update-an terbaru
Jangan lupa vote and comment
Makasih, makasih, makasih!!

HALWA (Novel Religi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang