Bagian 18

468 56 0
                                    

Telah tiba waktunya hari pernikahan. Semua tamu berdatangan silih berganti. Wajah-wajah terlihat berseri-seri, mereka turut berbahagia. Satu sama lain saling melempar salam dan senyuman yang menawan.

Akad nikah dilakukan setelah shalat Subuh di masjid dekat perumahan Bu Dewi. Di sana mereka mengambil sesi photo beberapa kali, setelah pukul depalan lewat mereka segera menuju ke gedung pernikahan. Karena sudah sah, maka Ali dan Halwa ditempatkan di satu ruangan. Ali mengajak Halwa untuk shalat Dhuha sebelum kembali dipakaikan gaun pengantin dan make up. Mereka melaksanakan shalat Dhuha empat rakaat karena waktunya tidak cukup banyak.

Saat Halwa sedang di-make up kembali, Ali yang duduk tak jauh darinya sempat beberapa kali memandang ke arahnya. Ia terpesona pada Halwa, bahwa tanpa make up pun istrinya itu sangat cantik. Ia berharap semoga kecantikan hati Halwa melebihi kecantikan parasnya.

Ali tersenyum pada Halwa, ada kecanggungan yang mampir dalam dadanya. Entah cinta atau rasa kagum, rasanya sulit ia bedakan. Tapi yang jelas, bahwa dia siap menerima Halwa dalam lembaran hidupnya yang baru. Ibarat sebuah buku, ia akan mengisi lembaran demi lembaran bersama Halwa. Akan ada dua nama dilembaran itu, tertera Ali dan Halwa. Wajah Ali nampak berseri-seri, ia terus memandangi wajah Halwa yang cantik jelita. Istrinya sudah sempurna dihias dan kini mereka hanya duduk berdua, saling berhadapan.

Saat tak sengaja menatap mata Ali, Halwa langsung menunduk. Ali kaget, "ada apa? Apa aku salah, Halwa?"

"Ti—tidak." Setetes air mata mengalir dari mata Halwa. Ia segera mengambil tisu supaya tidak merusak riasan tipis di wajahnya.

"Lalu kenapa? Kamu tidak menyesal kan menikah dengan laki-laki yang baru kamu kenal ini?"

"Insya Allah tidak, Mas."

"Kalau begitu angkat wajahmu, tatap mataku... Halwa, ehm... Adinda."

Perlahan Halwa mengangkat wajahnya, ia menatap sepasang bola mata Ali yang nampak kecokelatan. Dari jarak sedekat ini, kurang dari satu meter, ia bisa mencium aroma parfum dan wangi tubuh suaminya. Jantungnya menghangat, mulai terasa ada debaran dalam dadanya. Debaran yang halus. Debaran yang perlahan-lahan menyirnakan rasa kagum untuk orang lain—yang tidak halal baginya.

Halwa memejamkan mata. Bibir Ali mendekati keningnya dan satu kecupan itu jatuh pada kening Halwa. Hanya sepersekian detik saja, sebab ponsel Halwa mendadak berdering. Mereka berdua kaget bukan main. Halwa meminta maaf pada Ali berkali-kali, Ali hanya tersenyum dan sebisa mungkin menenangkan gejolak dalam dadanya. Napasnya memburu seperti habis lari maraton.

Ketika akan diangkat, ponsel itu malah berhenti berdering.

"Siapa, Dinda?" tanya Ali.

"Sahabatku, Hafsah."

Ali menelan ludah, ia kenal nama itu. Telinganya tidak asing dengan nama yang baru saja istrinya sebutkan. Ia bertanya lagi karena ingin memastikan. "Hafsah siapa?"

Halwa sempat bingung bagaimana ia harus menjelaskan tentang Hafsah pada Ali. Mungkin Ali tidak pernah mengenalnya, tetapi karena Ali bertanya ia pun menjelaskan panjang lebar tentang Hafsah dan pesantren tempat ia pernah menimba ilmu. Saat itu wajah Ali nampak kaget dan tegang, sayangnya Halwa tidak menyadari itu. Ia belum terbiasa membaca ekspresi suaminya. Ia lanjut bercerita dan pada akhir cerita itu Halwa menjelaskan bahwa dirinya tidak mengundang sahabatnya dipernikahan ini, Halwa tidak menjelaskan alasan terbesarnya pada Ali, Ali pun tidak bertanya. Laki-laki itu sedang sibuk merangkai kesimpulannya sendiri.

Hafsah? Ilyas?

Dua nama itu terus berlari-lari dalam kepala Ali.

"Kamu punya e-mail sahabatmu itu, Dinda?" Ali harus membuktikan bahwa dugaannya itu mungkin salah. Tidak mungkin dunia sesempit ini, bukan? Ah, ia lupa bahwa apapun bisa saja terjadi di dunia ini. Semua sudah ada yang mengatur. Tapi apa jadinya jika dia ternyata telah menikahi seorang gadis yang pernah Ilyas ceritakan padanya? Gadis yang bersahabat dengan adiknya Ilyas dan pernah menimba ilmu di pesantren Hidayatul Firdaus.

Atas semua dugaan itu hati Ali menjadi tidak tenang. Semuanya terasa rikuh.

Halwa membuka-buka ponselnya, membuka aplikasi Gmail lalu menyerahkan ponsel itu kepada Ali. "Yang paling atas adalah inbox masuk dari Hafsah dua harian lalu. Ada apa, Mas?"

Ali membuka profil Hafsah. Ia terbelalak. Dan benar saja, di sana ada foto istrinya dengan Hafsah, adiknya Ilyas, kawannya sendiri.

Entah bagaimana Ali akan memahami semua ini. Gadis yang diceritakan Ilyas sudah ada di depannya dan telah sah menjadi istrinya. Detik itu Ali merasa bersalah, apakah ia telah melangkahi Ilyas? Merebut Halwa dari sahabatnya sendiri? Orang yang sangat dekat dengannya selama empat tahun berada di Mesir, kawan yang ia anggap sebagai saudara terdekatnya karena dia sendiri tidak punya saudara kandung.

Ali bangkit, ia segera berlalu ke belakang dan meninggalkan Halwa yang bingung. Gadis itu dipenuhi tanda tanya besar. Kenapa dan apa yang terjadi?

HALWA (Novel Religi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang