7-B

513 59 0
                                    

Hari itu Halwa sedang di rumah temannya bernama Ningsih, dia teman SMP Halwa yang sudah menikah dengan orang berada dan sekarang sudah memiliki seorang anak usia satu tahun dua bulan. Saat dia sedang asyik mengobrol bersama Ningsih mengingat masalalu yang sangat dirindukan, tiba-tiba suara panggilan masuk berbunyi nyaring, suara itu besaral dari dalam tas Halwa. Gadis itu merogoh tasnya, ia menemukan HP jadul hasil pemberian Mas Tio. Di sana ia melihat nama Pakde Rudi yang memanggil. Jantungnya sedikit berdebar aneh, ia takut kalau tiba-tiba pakdenya itu marah sebab ia belum pulang ke rumah.

Halwa segera mengangkatnya dan benar saja, Pakde menyuruhnya pulang sekarang juga. Padahal Halwa masih punya satu agenda lagi, yaitu mengajar di rumah Wahyu, hal itu terpaksa ia tunda karena pakdenya memang memaksanya agar ia segera sampai di rumah.

"Ya sudah, hati-hati di jalan, Wa!" kata Ningsih setelah mendengar penjelasan Halwa. Wajahnya agak kecewa, sebab ia belum selesai kangen-kangenan dengan sahabat lamanya itu.

Halwa mengangguk. "Makasih Ning. Kapan-kapan aku mampir lagi boleh, kan?"

"Ya, boleh tho... masa ndak boleh. Aku seneng kok, ternyata kamu masih inget aku, padahal aku kancamu pas SMP."

Halwa keluar dari rumah Ningsih, ia menghadang sebuah angkot yang menuju kelurahannya. Sekitar lima belas menit berlalu, angkot itu turun di pertigaan dan Halwa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar tujuh menit menuju rumah pakdenya.

Sampai di rumah, suasana sedang sangat serius. Halwa masuk dengan mengucap salam lengkap, semua menjawab kecuali anak Tio yang masih kecil. Budhe memilih pergi ke belakang, mengurus sesuatu entah apa. Sementara itu istri Tio masih ingin di ruang tamu, ia sudah berjanji akan membantu Tio untuk membicarakan masalah pelik ini, terutama dalam hal mencari solusi selain menikahkan Halwa dengan Bimo. Ia sendiri bukan perempuan yang silau dengan harta, jadi kalau dia diposisi Halwa yang sekarang sudah pasti akan memilih laki-laki lain yang lebih baik, walaupun tidak sekaya keluarga Bimo.

"Langsung saja ya, Halwa." Rudi memperbaiki posisi duduknya, dia berhadapan dengan Tio dan Halwa sekaligus. "Kamu sudah lulus sekolah, kalau kamu mau lanjut kuliah sebenarnya Pakde punya solusi. Tapi solusi ini harus ditempuh dengan jalan menikah, bagaimana?" tanyanya diplomatis.

Halwa kaget bukan main. Dalam agenda hidupnya rencana menikah itu baru ada setelah dia lulus kuliah, bukan sekarang, dia masih terlalu muda untuk itu dan dia belum siap sama sekali. Ia diam, belum tahu mau menjawab bagaimana.

Kakak sepupunya berusaha membujuk bapaknya lagi, "Halwa itu masih terlalu muda, usianya juga belum sampai dua puluh tahun, Pak."

"Bapak tahu mana yang terbaik untuk Halwa, Yo!" sentak Bapaknya. "Orang dulu menikah juga umur belasan tahun, tidak masalah. Semua baik-baik saja, kan? Lihat teman-teman kamu yang lulus SD itu, menikah usia belasan tahun!" balas Rudi sangat ngotot.

"Coba Bapak tanyakan Halwa dulu, biarkan dia memilih. Kalau tidak mau menikah cepat, ya jangan dipaksakan. Menurutku begitu saja Pak." Nada suara Tio masih terdengar pelan. Ia tidak mau adu mulut lagi seperti sebelumnya.

"Kalau masih mau kuliah ya harus menikah. Begitu pilihannya. Halwa manut saja sama Pakde. Kamu jangan membantah!" ujar pakdenya, agak sedikit sewot.

Baik Halwa maupun istri Tio, mereka sama-sama terlonjak kaget. Anak Tio kembali rewel, Tio menyuruh istrinya untuk keluar sebentar bersama anaknya. Di ruangan itu tinggal tiga orang saja. Halwa masih menunduk, diam seribu bahasa. Bibir, hati, dan tangannya beku. Dalam hati ia bertanya, apa harus sedemikian rumit jalan hidupnya? Apa dia harus menikah secepat ini dan siapa calonnya?

Kalaupun harus menikah, ia ingin menikah dengan laki-laki yang bisa menuntun dia dan anak-anaknya kepada jalan kebenaran. Laki-laki itu harus mampu menjadi pemimpin dan imam yang baik dalam keluarganya nanti, menjadi sosok yang bisa dijadikan panutan dan sanggup bertanggungjawab di dunia maupun di akhirat kelak.

Halwa jadi teringat kata-kata Bu Nyai Sarah yang pernah menasihati anaknya ketika mereka di perpustakaan bersama. "Menikah itu bukan perihal mudah dan sederhana, harus ada kesiapan lahir dan batin. Harus ada visi dan misi yang mulia. Harus diniatkan dengan benar agar semuanya barokah." Halwa membenarkan ucapan Bu Nyainya itu.

Perlahan Halwa mengangkat wajahnya, memberanikan diri menatap wajah Pakdenya. "Halwa punya pilihan sendiri, saat ini Halwa sedang berusaha untuk mengejar mimpi Halwa Pakde. Insya Allah tahun depan sudah bisa lanjut kuliah, aku akan bekerja setahun ini. Rencana selanjutnya Halwa akan mencari beasiswa dari kampus atau pemerintah. Jadi... rasanya aku tidak harus menikah cepat-cepat."

"Kalau sudah liren (istirahat) setahun biasanya males-malesan. Pakde tidak setuju dengan rencana kamu itu." Pakdenya membantah. Yang ada di kepalanya saat ini adalah; supaya Halwa mau menikah dengan Bimo secepatnya. Hanya itu, titik. "Besok Pakde kenalkan kamu dengan Bimo, anaknya Pak Camat Arif. Dia keluarga terhormat dan terpandang di kecamatan Tembalang ini, Halwa. Kalau kamu jadi menikah dengannya, hidupmu akan rejeh, semua terjamin, kamu tidak bakal kekurangan dan kesusahan seperti Mas Tio-mu ini."

Halwa menelan ludah pahit. Tangannya meremas gamis yang ia kenakan, ia ingin menangis detik itu juga. Sebelum air mata jatuh, Pakde menyuruhnya masuk ke kamar, ia ingin bicara dengan Tio empat mata. Halwa menurut, ia segera masuk dan mengunci pintu kamarnya. Di dalam sana ia berdoa supaya ada jalan keluar dari masalah ini, dia tidak mengenal calonnya, tidak tahu Bimo itu yang mana. Bagaimana dia bisa mencintai dan berbakti pada suaminya kalau kenal saja tidak? Dia sudah dipaksa untuk menikah, bukan sedang dikenalkan!

Di ruang tamu itu Rudi berbisik pada Tio. "Kamu jangan sekali-kali mencoba melawan Bapak. Ingat, kamu itu tidak punya apa-apa, Yo."

Tio membalas tatapan bapaknya sambil berkata. "Tapi, Pak. Aku berharap dia menikah dengan laki-laki yang bukan hanya berpendidikan dan dari keluarga terpandang, tetapi juga yang shaleh, Pak." Tio menarik napasnya, "tidak cocok Dik Halwa itu nikah dengan anaknya Pak Camat. Dia itu ke masjid saja setahun sekali, sepertinya ndak ngerti ngaji dan shalatnya bisa dihitung pakai jari!"

"Kamu tahu apa soal Bimo? Asal kamu tahu saja, Yo. Hidup adikmu itu bakal terjamin, tidak kere seperti dirimu itu lho." Sindir Rudi pada anaknya sendiri.

Tio kembali melawan tanpa takut. "Sepertinya Bapak itu lebih sayang uang ketimbang anak dan keponakannya sendiri," sindirnya.

Rudi sudah ingin menampar anaknya kalau tidak melihat menantu dan cucunya kembali masuk ke ruang tamu. Tio melirik ke arah pintu sekilas lalu kembali berbicara. "Nikah itu ibadah, Pak. Yang mau menjalani adalah Halwa bukan kita, bukan Bapak. Biarkan Dik Halwa yang memilih, mau atau tidak? Kalau dia tidak mau, maka Bapak harus menerimanya. Jangan paksa dia, Pak. Lagi pula hutang-hutang itu urusan Bapak dan orang-orang itu, tidak ada hubungannya dengan Halwa, maka jangan seret dia ke dalam jurang kehidupan Bapak."

"Anak kurang ajar!" teriak Rudi keras.

Plakkk!!!

"Mas?!" teriak istri Tio. Kaget.

Terlambat, tamparan itu sudah mengenai pipi Tio. Pipinya lebam, berwarna merah kehitam-hitaman. Tio merasakan air mata mengalir begitu saja. Sejurus kemudian bapaknya pergi keluar tanpa peduli pada anak, menantu dan cucunya lagi.

Mendengar ada jeritan dan tangis yang terdengar keras di luar kamarnya, Halwa segera keluar. Ia melihat Tio memeluk istri serta anaknya. Halwa bertanya sedih, "Mas Tio, ada apa?"

Tio hanya menjawab dengan permintaan maaf tulus dari hatinya. "Maafkan aku, Dik..." Ia tidak mengerti lagi harus bagaimana menghadapi situasi ini. Sementara itu Halwa semakin tidak paham dengan sikap pakdenya itu, pakdenya benar-benar tidak berubah, orang itu masih kasar dan keras. Halwa bersyukur bahwa ayah kandungnya tidak memiliki watak seperti Pakde Rudi, ayahnya tegas namun hatinya sangat lembut dan peyayang.

HALWA (Novel Religi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang