Bagian 9

486 62 0
                                    

Malam itu Rudi marah besar atas perlakuan tidak baik pada anak calon besannya, ia menyalahkan Halwa dan Tio. Memaki-maki keduanya di depan istri dan menantunya. Tidak peduli tetangga mendengar teriakannya malam-malam begini. Rudi sudah kesetanan.

Tio berusaha menjelaskan dengan suara tenang, namun tidak membuat bapaknya berubah pikiran. Mata, hati dan pikirannya gelap oleh uang dan hutang.

Halwa masih terduduk sambil sesenggukan, Hana mengelus-elus punggungnya untuk menguatkan.

"Pak, Tio akan cari kerja yang gajinya besar. Bila perlu Tio akan ikut berlayar ke laut dengan teman-teman Tio yang sudah sukses, Halwa juga bekerja, kami akan ikut membantu melunasi hutang-hutang Bapak. Jadi..."

"Tidak bisa!" potong Rudi. "Halwa tetap harus menikah dengan Bimo tahun ini!" mata Rudi bagai elang, tajam sekali menatap Tio.

Halwa sendiri tidak tahu lagi harus bagaimana. Dia tidak rela dirinya dijadikan budak nafsu laki-laki bernama Bimo. Dia tidak ingin menikah dengan Bimo, walaupun laki-laki di dunia ini tersisa satu yaitu Bimo, Halwa lebih memilih tidak pernah menikah sama sekali. Sebab kalau dia menikah dengan Bimo, hidupnya bagai di neraka dunia.

Halwa memberanikan diri angkat suara dengan wajah yang masih tertunduk. "Baik, Halwa siap menikah tapi syaratnya harus dengan laki-laki yang mengerti agama dengan baik, yang akhlaqnya santun dan lelaki itu tidak pernah meninggalkan shalat lima waktunya, Pakde."

Mata Rudi bekilat-kilat, "Halwa, kamu ini dari pesantren, kamu bisa berdakwah pada Bimo sekaligus pada keluarganya. Kamu ini santri, harusnya bisa membuat Bimo itu jadi laki-laki yang benar seperti yang kamu inginkan. Dua tahun kamu belajar agama masa ndak bisa!" sentaknya.

Halwa menggelengkan kepala, "ini semua terlalu berat, Pakde. Bimo sudah mengecewakanku dengan akhlaqnya yang buruk. Dia hampir mencelakaiku dan Cahya, mana mungkin aku bisa menerimanya?" ia mengambil napas, mengelap air matanya dengan ujung jari. "Lagipula hidayah itu datangnya dari Gusti Allah, bukan dari seseorang, Pakde. Yang menghendaki seseorang itu sadar atau tidak sadar hanya Allah, aku hanya mampu menunjukkan jalannya dan kalau dia sudah seperti itu rasanya aku menyerah. Dia sudah kurang ajar padaku, aku tidak terima diperlakukan tidak baik olehnya."

"Pakde tidak mau mendengar alasan apapun dari kamu. Jangan membantah, Halwa!" Rudi keluar dari rumahnya, ia menyalakan mesin motor bututnya dan pergi entah kemana.

Dari luar isak tangis itu masih terdengar samar-samar. Tio memohon pada ibunya agar turut membujuk bapaknya yang seenaknya sendiri memaksa Halwa untuk menikah. Ibunya menolak, penolakan itu sangat menyayat hati Tio. Keluarganya benar-benar tidak ada yang peduli dengan nasib dan masa depan adik sepupunya itu. Tio memikirkan siasat dan rencana yang mungkin bisa membuat Halwa lepas dari pernikahan yang tidak menjanjikan kebahagiaan ini. Jangankan kebahagiaan, keberkahan pun rasanya tidak ada—sebab salah satu pihak dipaksa untuk menikah, bukan dengan suka rela.

***

Suasana sepi senyap, jam menunjukkan pukul delapan malam. Halwa sudah masuk ke kamarnya, ia berbaring di atas kasur sambil bertasbih, istigfar dan bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw..

Matanya masih basah, air mata itu masih mengalir perlahan tanpa suara. Selang beberapa saat pintu kamarnya ada yang mengetuk, Halwa segera bangkit dan mengenakan jilbab hitamnya.

"Mbak Hana?" Halwa mengusap jejak-jejak air mata dengan tangannya.

"Dik, ada yang mau kami bicarakan." Bisik Hana pelan di telinga Halwa. "Ini penting."

"Baik, mau dimana, Mbak?"

"Di kamarmu saja, Mas Tio ikut masuk ya?"

Halwa mengangguk. Mereka masuk ke kamar Halwa dan duduk melingkar di lantainya yang dingin. Ada sajadah terlipat di sana, serta ada satu dus berisi buku-buku sekolah Halwa yang ia bawa dari pesantren. Tanpa menunggu lama Tio segera mengatakan hal penting yang bersarang di kepalanya sejak siang tadi.

"Dik, kamu pergi saja dari sini. Tidak usah kabari Pakde, kami akan sering mendoakanmu semoga kamu baik-baik saja, sehat dan selamat sampai tempat tujuan dan semoga bisa sukses. Mas benar-benar tidak setuju kamu menikah dengan anak Pak Camat itu. Meskipun terpandang tapi agamanya sangat kurang. Mas tidak mau kamu menikah karena keterpaksaan, kamu juga tidak cinta sama dia, kan?"

Halwa mengangguk pelan.

"Jangan menikah karena kasihan melihat hutang-hutang Pakde yang menumpuk, sebab itu bukan tanggung jawabmu, Dik. Kamu pergi saja, kejar impian dan cita-citamu. Buat keluargamu bangga, buat ayah dan ibumu bahagia di akhirat sana, Dik. Mas dan Mbak Hana akan dukung terus."

Air mata mengalir lagi, kali ini lebih deras dari sebelumnya. Hana memeluk Halwa sangat erat, pelukan itu memberi kekuatan dan rasa aman untuk sejenak. Beruntung, ia masih memilki orang-orang yang peduli dan sayang padanya seperti Mas Tio dan Mbak Hana.

"Sudah, jangan menangis, Dik. Kita tidak punya banyak waktu. Mumpung Bapak lagi pergi maka cepat kita kemas barang-barang yang perlu kamu bawa. Bawa seperlunya saja, agar kamu tidak terlalu repot." Tio segera bangkit dan meraih sebuah tas ransel dari atas lemari Halwa. Hana membantu memasukkan baju-baju yang hendak Halwa bawa. Beberapa buku juga di masukkan, juga sebuah Al-Qur'an dan mukena. Terakhir ada sebuah buku tabungan yang di berikan oleh ibunya, seperti sebuah pertanda, sebelum kecelakaan terjadi ibunya itu menyerahkan buku tabungan keluarga kepada Halwa. Dia sendiri tidak tahu berapa jumlah uang yang masih tersimpan saat ini, semoga saja cukup untuk biaya hidup di luar sana.

Tangan Halwa semakin gematar saat turut mengemas barang-barangnya sendiri. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa dia akan lari dari masalah ini. Tidak ada cara lain memang, Halwa benar-benar buntu, ia menuruti saja pendapat dari Mas Tio dan Mbak Hananya supaya selamat dari kejaran Pakde Rudi.

"Dik, ini kerudungmu mau kamu bawa?" Hana meraih kerudung panjang bercorak kalem, itu hadiah dari Bu Nyai Sarah. Halwa segera mengambilnya. Ia melilitkan kerudung itu ke lehernya.

Tio mendekat pada Halwa setelah semua barang yang perlu dibawa sudah dimasukkan ke dalam ransel besar. "Dik, Mas ada uang tapi tidak banyak. Semoga bisa untuk membantu biaya hidupmu selama beberapa hari, di luar sana kamu harus segera cari penghasilan ya. Nanti kamu cari kerja sampingan apapun asalkan halal, kamu bisa mulai mengajar les dan kerja serabutan yang perempuan bisa lakukan. Yang kuat ya, Dik. Mas akan bantu sebisa Mas, Dik."

"Ma... Makasih banyak, Mas." Halwa menerima uang ratusan ribu itu, ia memasukkan dalam tasnya. Matanya kembali berkaca-kaca.

"Mbak juga yakin kalau kamu sanggup melalui ini semua. Jangan lupa kabari kami ya, Dik... kalau sudah sampai tempat tujuanmu kabari kami." Hana kembali memeluk Halwa.

"Ini HP-nya jangan lupa kamu bawa." Tio mengambil HP jadul yang diletakkan di atas meja.

"Budhe bagaimana?" tanya Halwa.

"Budhe ada di kamar belakang. Mas keluar dulu, nanti kalau kira-kira aman Mas akan panggil kalian untuk keluar ya?" Tio keluar mengendap-endap. Ibunya masih di dalam kamarnya sendiri, terdengar suara TV dari kamar belakang. Tio membuka pintu kamar Halwa dan menyuruh gadis itu keluar.

"Dik, aku antar Dik Halwa ke terminal dulu ya. Kamu di sini saja dan kunci pintu kamarnya Halwa. Kalau Bapak tanya aku pergi kemana, bilang aku sedang ke rumah Si Samsul ada urusan pekerjaan." Tio berkata pada istrinya.

"Baik, Mas. Samsulnya sudah Mas kabari?"

"Sudah aku SMS, dia ada di mushalla kalau jam segini."

"Baik, hati-hati ya..."

"Mbak, Halwa pamit dulu ya." Halwa mencium tangan Hana dan menangis.

Hana segera memeluknya erat. "Iya, Dik. Semoga kamu selamat sampai tujuan. Mbak akan selalu mendoakanmu."

Kali ini Hana yangmenangis karena tidak tega melepas kepergian Halwa. Meskipun Halwa bukan adikatau saudara kandungnya sendiri, Hana sudah menyayangi gadis itu sejak gadisitu yatim-piatu dua tahun lalu. Bagi dia dan Tio, Halwa adalah amanah yangharus mereka jaga dan rawat dengan baik, oleh karena itu mereka rela berkorbandemi kebaikan dan masa depan Halwa.

HALWA (Novel Religi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang