Bagian 21

512 63 1
                                    

Sungguh bukan hal yang mudah, ini benar-benar berat bagi Ali jika ia harus mengakui bahwa ia menikah dengan gadis yang sempat dibicarakan oleh Ilyas. Hamid pun tidak tahu masalah ini. Ali masih menutup rapat rahasia ini dalam benaknya sendiri. Memikirkan ini membuat konsentrasinya terpecah-pecah. Ia jadi tak fokus saat dalam kelas. Ia banyak menyendiri di perpustakaan atau masjid kampus. Hamid menbaca gerak-geriknya yang serba gelisah dan aneh, saat Hamid bertanya ia tidak mau jujur, jadi Hamid pun akhirnya mendiamkan Ali dalam kebimbangan itu.

"Baiklah tidak usah ceritakan masalahmu padaku, Li. Tapi semoga Allah Ta'ala membimbing langkahmu dalam urusan ini. Segera selesaikan dan kembali fokus pada study-mu, Li."

"Syukron, Mid."

Hamid mengangguk. Setelah mendengar sedikit saran dari Hamid, malam itu Ali segera mengirim pesan pada Ilyas, yang dibalas keesokan harinya oleh Ilyas.

Yas, langsung saja. Aku mau tanya padamu. Apakah kamu masih memikirkan teman adikmu itu? apa kelanjutannya?

Jawaban Ilyas sangat jelas dan tegas. Membuat rasa bersalah di hati Ali semakin tumbuh besar, hari-harinya pun semakin bertambah berat.

Insya Allah aku akan membicarakannya dengan Abah dan Ummi. Doakan aku dari Mesir ya, Li.

Ali menelan ludahnya sendiri. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Ini perkara yang sulit diputuskan. Malam demi malam ia lalui dengan Istiqarah, banyak membaca Al Quran dan bermunajat meminta petunjuk. Lima hari berlalu sudah, ia sibuk dengan urusan pribadinya dan mengabaikan tugas-tugas yang semakin menumpuk.

Perkara ini tidak boleh berlarut-larut, harus segera diputuskan. Dan dalam lima hari itu, Ali belum membaca satupun pesan dari Halwa. Jelas, ia menghindari istrinya sendiri. Tidak bermaksud melukai perasaan Halwa sedikitpun, hanya saja ia sedang bingung dengan jalan yang akan ia putuskan. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia tidak ingin perkara cinta memudarkan ikatan persahabatannya dengan Ilyas. Mungkin ia yang harus mengalah, mungkin itu lebih baik diputuskannya dengan segera.

Benar, aku harus mengakhiri ini sebelum semua rasa dan rindu tertanam terlalu dalam. Aku sekadar mengaguminya, belum terlalu besar rasa yang bergejolak dalam dadaku ini. Kata Ali pada dirnya sendiri, ia yakin bahwa perasaannya kepada Halwa masih tipis dan samar, semua akan mudah terhapus oleh waktu. Ia akan bicara baik-baik pada istrinya itu.

***

Di Jakarta.

Lima hari berlalu dengan kekhawatiran pada suaminya.

Apa yang terjadi? Tak ada kabar sama sekali.

Halwa menanti dan terus menanti. Malam-malamnya tidak lelap. Ia mengecek ponsel berkali-kali, meletakkan benda itu dekat dengan tubuhnya agar mudah ia jangkau. Tidak juga ada pesan masuk yang ditunggu-tunggu. Jangankan masuk, dibaca pun belum.

Apakah ini sebuah kekhawatiran yang wajar, dari seorang istri kepada suaminya?

Mungkin. Sebab menanti kabar dari Ali adalah sebuah rutinitas rutin yang harus dilakukannya setiap hari. Membaca pesan dari Ali adalah sebuah kelegaan, walau pesan itu terkadang cukup singkat isinya. Ia selalu berusaha mengerti dan memahami, bahwa mungkin sang suami sedang sibuk belajar atau sibuk mengerjakan tumpukan tugasnya.

Semoga tidak ada keburukan yang menimpa suamiku Ya Tuhan... doanya malam itu.

Hari ke-enam masih belum ada kabar. Halwa akhirnya menelepon nomor suaminya, tidak dijawab. Halwa menunggu lagi sampai masuk hari ke-tujuh, di hari itu akhirnya ia mendapat sebuah pesan dari suaminya. Ada sedikit rasa lega yang membuncah di dalam dada. Namun hanya sesaat, karena detik berikutnya sang suami justru bertanya tentang hal yang cukup membuatnya bingung.

HALWA (Novel Religi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang