Sore itu Bu Nyai Sarah baru saja selesai mengisi majelis taklim ibu-ibu di mushalla Al Ikhwan. Kegitaan yang rutin dilakukan beliau salah satunya adalah mengajar dimajelis para akhwat. Jadwal ngajinya adalah sepekan dua kali, hari Selasa dan Jumat. Bu Nyai biasa berjalan kaki ke mushalla Al Ikhwan karena jaraknya pun tidak terlalu jauh, dan kalau waktunya pulang biasanya dijemput santriwati atau dijemput oleh Pak Kyai Hasan langsung. Mereka berdua nampak serasi dan tetap harmonis walau anak-anaknya sudah besar-besar. Seperti kali ini, Bu Nyai baru turun dari motor matic yang dikendarai oleh Pak Kyai, mereka berdua nampak saling tersenyum dengan menatap penuh kasih dan ridho.
"Ilyas kemana, Abah? Rumah kok pintunya ditutup, seperti tidak ada orang tho?"
Pak Kyai menggeleng, beliau sedang menstandarkan motornya dan setelah itu beliau melangkah ke depan rumah. "Tidak tahu Ummi."
"Anak itu kok akhir-akhir ini suka aneh, Bah. Banyak diam dan kalau Ummi atau Abah ajak ngomong baru mau bicara, suka menyendiri di masjid atau perpustakaan. Coba Abah ajak Ilyas bicara dari hati kehati, barang kali dia mau terbuka sama abahnya dibanding sama Ummi," saran Bu Nyai.
"Ah, mungkin perasaan Ummi saja. Abah lihatnya biasa saja kok. Ndak ada apa-apa."
"Abah, Ummi serius. Abah mah, perempuan memang lebih peka dibanding laki-laki, Bah." Bu Nyai mengelus lengan suaminya, lebih tepatnya merayu. "Pokoknya Abah coba ajak Ilyas ngomong ya, Bah. Sore ini kalau bisa!"
Pak Kyai akhirnya mengangguk, "insya Allah ummiku sayang."
"Matur nuwun... Abah Hasan."
Mereka berdua tersenyum.
***
Gus Ilyas masih lanjut memuroja'ah hapalan Qur'annya. Ia tidak beranjak dari masjid pesantren jika tidak batal wudhu atau jika sedang ada hajat ke kamar mandi. Ia terlihat begitu khusyuk sampai-sampai kakaknya, Gus Malik, enggan mengganggu untuk memintanya menjadi pengisi kajian pekanan di desa sebelah, dan akhirnya Malik-lah yang berangkat ke sana sendiri.
Menjelang Maghrib Kang Adi menyusul Ilyas, mengajaknya pulang ke rumah karena Kang Adi sejak siang tadi belum melihat Ilyas mengisi perutnya kecuali hanya air putih yang ada di sebelahnya. Gelas itu sudah tandas isinya, Kang Adi membawakan yang baru. Ia nampak khawatir melihat Gus Ilyas terus menerus mengulang-ulang hapalan, matanya kadang terpejam, kadang terbuka dan terpejam lagi. Terus begitu sampai waktunya Maghrib telah tiba Ilyas baru berhenti dan kembali mengambil wudhu.
Kang Adi masih mengikuti Gus Ilyas, "Gus ndak lapar tho? Dari siang perutnya belum diisi apapaun, Gus. Nanti kalau sakit bagaimana?"
Ilyas menoleh sebentar. "Sakit juga nikmat, Kang."
"Tapi kalau sakit itu sengaja dicari-cari bukannya itu zalim ya Gus?"
"Benar, Kang. Tapi aku ndak lapar, Kang. Nanti kalau aku sudah merasa lapar aku pasti makan. Terimakasih untuk perhatiannya ya Kang Adi."
Kang Adi berdiri mematung menatap punggung Ilyas yang menghilang di balik bilik tempat wudhu. Ia balik ke masjid dan bersiaup untuk shalat, ia masih punya wudhu. Setelah usai shalat Maghrib ia melaporkan tentang Gus Ilyas pada Pak Kyai, sore tadi Pak Kyai memang menyuruhnya mencari keberadaan Ilyas. Mendengar Ilyas tidak selera makan dan terus menerus berada di masjid pesantren membuat hati Pak Kyai gelisah.
Pak Kyai segera menghampiri istrinya di ruang tengah. "Benar kata Ummi, sepertinya ada sesuatu dengan Ilyas ya Mi?"
"Tuh, kan, Ummi bilang apa. Setelah dia kembali dari Gunung Kidul kok malah aneh dan banyak diam. Pokoknya ba'da Isya nanti Abah harus bicara sama Ilyas!" desak Bu Nyai.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALWA (Novel Religi)
SpiritualTAMAT Setelah sekian lama, ribuan purnama, jutaan hari, miliyaran detik... akhirnya aku kembali membuat FIKSI ISLAMI untuk pembacaku tersayang. Semoga suka dengan cerita ini, terhibur, jadi teman metime. Follow akun ini. Vote tiap bab Comment hal-ha...