Bagian 32

1.8K 100 8
                                    

Bab akhir perjalanan Halwa
Jangan lupa Vot-Ment dan follow akun ini juga ig rah.id
Thank you so much 😊😘😍

Yuk ketemu lagi dicerita yang lainnya


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


...

Dan, ketika hari itu tiba...

Semua orang nampak bahagia pada hari pernikahan yang dilangsungkan di lingkungan pesantren ini. Tidak terlalu mewah, namun tamu undangan yang hadir luar biasa banyak. Pasangan pengantin pria dan wanitanya saat itu sengaja dipisahkan mengikuti syariat. Prinsipnya memang agar tidak terjadi ikhtilat dalam walimahan ini. Dua orang dalam satu tempat, dua hati dalam satu cinta; akhirnya bersama-sama menuju jalan cinta Tuhan Yang Mahakuasa.

Benar, hanya Tuhan yang paling berkehendak menyatukan cinta mereka, memisahkannya lagi sebelum akhirnya bertemu di surga-Nya yang abadi.

Pada malam acara pernikahan, sebelum diadakannya pengajian, Pak Kyai sempat memberikan sebuah nasehat pernikahan yang dapat diperdengarkan oleh semua tamu yang hadir. Sepasang pengantin itu pun turut mendengar, mereka memasang hati dan telinga baik-baik.

Pak Kyai mengucapkan salam, belum semenit berlalu air mata sudah tumpah ruah. Nuri beserta para khadimah lain yang menyaksikan disudut-sudut ruangan saling merangkul satu sama lain. Bu Nyai dan Hafsah ikut menangis melihat Halwa sudah lebih dulu menitikkan air mata—sesungguhnya ia rindu kehadiran ayah dan ibu kandungnya. Sementara di panggung seberang ada Ilyas yang dipeluk kakaknya, Malik.

"Untuk anak-anakku tersayang, semoga Allah Ta'ala selalu memberkahi pernikahan kalian, Nak." Ucap Pak Kyai Hasan dengan suara sendu, ternyata Pak Kyai pun sudah menitikkan air mata bahagianya. Kertas di tangannya sampai basah, akhirnya kertas itu digulung dan dimasukkan ke kantong jas Pak Kyai sendiri.

Pak Kyai Hasan bicara tanpa teks, beliau menatap anak laki-lakinya. "Anakku Muhammad Ilyas Firdaus, didiklah istrimu seperti cara Rasulullah mendidik istri-istrinya. Tegaslah padanya tetapi jangan keras, sebab perempuan itu tercipta dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok. Jika engkau meluruskannya maka dia akan patah, jika engkau terus membiarkannya begitu saja maka dia akan tetap bengkok. Didiklah ia dengan cinta yang diizinkan oleh Robb-mu masuk ke dalam sanubarimu. Berlakulah lemah lembut terhadapnya dan jangan sakiti perasaannya."

Suasana mengahru biru, tidak ada mata yang kuat menahasan desakan air bening itu. Perlahan-lahan pipi tamu undangan basah satu persatu. Sang pengantin laki-laki terlihat mengangguk, bahunya ditepuk-tepuk oleh Gus Malik dan Kang Adi.

"Untuk anak menantuku Halwatuzahra, Abah tidak pernah membesarkanmu seperti orangtuamu membesarkan dan merawatmu dahulu, Nak. Tapi... Abah sayang padamu, Abah telah menjadi Ayah-mu karena kamu telah menikah dengan putra Abah yang bernama Ilyas." Pak Kyai menarik napas, memejamkan mata sejenak. "Anakku yang shalihah, patuhilah suamimu selama itu dalam hal kebaikan, dia adalah jalanmu menuju keridhoan dan surganya Allah Ta'ala. Dia adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian baginya."

Halwa mengangguk-angguk mendengar nasehat yang diberikan Pak Kyai padanya, tangan kanannya yang memegang tisu terus bergerak mengusap butiran bening yang terus mengalir tanpa jeda.

"Nak, sesungguhnya laki-laki itu bisa luluh oleh santunnya lisanmu, oleh kelembutanmu, ketulusan dan juga kesabaranmu menghadapinya. Abah berpesan agar kamu selalu bersikap santun dan sabar terhadap suamimu. Dia hanya manusia biasa, tidak sempurna karena dia bukan malaikat, maka lapangkanlah dadamu untuk selalu memaafkannya."

Halwa tak kuasa menahan gemuruh di dalam dadanya, ia sudah memeluk Bu Nyai. Bu Nyai Sarah balas memeluknya lebih erat lagi.

"Abah rasa cukup saja, malam ini sudah cukup basah oleh air mata. Terakhir, untuk kalian berdua dan semuanya yang hadir di sini." Pak Kyai tersenyum menatap para tamu undangan, "khususnya yang sudah menikah, jadilah kalian dan pasangan kalian seperti pengantin baru sepanjang masa. Hiasilah rumah tangga kalian dengan takwa kepada Allah Ta'ala."

Pak Kyai menurunkan microphone-nya, beliau kembali duduk di kursinya bersama Gus Malik, lalu Ilyas segera menghambiri abahnya dan mencium tangan beliau dengan takzim. Pak Kyai mengelus lembut kepala Ilyas sambil terus mendoakannya.

Malam itu dilanjutkan dengan pengajian yang berlangsung sekitar 40 menitan, dan ditutup dengan doa bersama. Doa untuk sepasang pengantin baru yang sangat berbahagia, untuk keluarga mereka dan untuk semua tamu yang hadir. Tak lupa, doa tambahan juga untuk seluruh saudara muslim di seluruh dunia agar selalu dalam keadaan baik dan selalu dalam penjagaan Allah Swt..

***

Kini Halwa sedang duduk dihadapan suaminya, ia harus menyertorkan hapalan Quran-nya di depan suaminya sendiri, ia merasa grogi, ia belum pernah seperti ini sebelumnya.

"Mas, apa aku ndak setoran sama yang lain saja? sama Ustadzah Maryam misalnya, aku merasa canggung di dekatmu, Mas..." lirih Halwa sambil tetap menunduk.

Ilyas tersenyum kalem, kecanggungan ini malah membuatnya semakin senang. "Iya, nanti sama Ustadzah Maryam, tapi sekarang sama Mas dulu ya, Dik?"

"Kenapa?" Halwa mengangkat kepalanya dan menatap suaminya.

"Karena aku ingin sama kamu malam ini."

Halwa mengangguk patuh. Ia mulai membuka mushafnya dan membuka surat yang harus dia baca, surat Ar Rohman.

Satu jam berlalu, Halwa selesai menyetorkan hapalan surah itu pada suaminya, bacaannya sangat tartil dan tidak ada koreksi sama sekali. Ilyas merasa bangga pada istrinya. Halwa bukan hanya cantik, tapi juga benar-benar bidadari shalihah yang ia idam-idamkan.

Ilyas mengecup kening Halwa setelah mukena istrinya itu terlepas.

"Mas, besok berangkat jam berapa?" tanya Halwa sembari melipat sajadah di pangkuannya.

"Delapan pagi." Balas Ilyas. Besok dia harus pergi ke Yogyakarta untuk kajian bulanan, undangan itu sebenarnya untuk abahnya, tapi saat ini Kyai Hasan sedang ingin beristirahat dan menyuruh Ilyas untuk memenuhi undangan tersebut. "Kamu mau ikut, Dik?"

Halwa diam sebentar, "memang boleh?" tanyanya malu-malu.

"Coba lihat Mas, Dik." Ujar Ilyas lembut.

Halwa mengangkat wajahnya dan menatap sang suami. "Boleh?" tanyanya penuh harap.

Ilyas tersenyum dan mendekatkan bibirnya ke bibir istrinya, menyecupnya lembut dan penuh kasih. "Iya. Kita hanya pergi berdua besok dan setelahnya bisa jalan-jalan ke kota itu. Mau, kan?" ajaknya.

Halwa segera mengangguk, senyuman manis nampak terlihat di wajahnya.

Ilyas meraih tubuh Halwa dan membawanya ke atas pembaringan. "Aku senang sekali, sebab malam ini tidur sama bidadari lagi..." ia merayu istrinya sambil membelai rambut panjang Halwa.

Halwa terlihat malu-malu, namun akhirnya ia memeluk Ilyas dan menghirup seluruh aroma di tubuh suaminya itu. Harumnya segar dan khas.

"Jangan pergi lagi ya, Dik." Bisik Ilyas di telinga Halwa.

"Insya Allah, Mas."

—Selesai—

HALWA (Novel Religi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang