Bian tengah asik memasang tali pada sepatunya. Hari ini dia akan berangkat kuliah sendiri karna tadi Zea sudah berangkat bersama Rasya. Ketika dirasa ikatannya sudah pas, ia menghampiri Lia yang saat ini tengah duduk santai memandangi bunga-bunga hasil menanamnya yang terlihat menyejukan mata. Sesekali pula wanita paruh baya itu menyeruput tehnya.
"Bian berangkat, Bun." ucapnya seraya mencium pipi Lia.
"Sebentar, Bunda mau ngomong."
Bian mengernyit, lalu duduk disamping Bundanya.
"Bulan depan Kakakmu pulang. Katanya mau mempercepat tunangan ponakan kamu, Zea."
Ini bukan hal yang mengejutkan lagi bagi Bian. Dari bulan-bulan lalu ia sudah mendengar tentang perjodohan Zea. Hal itu tentu saja semakin membuatnya pupus harapan.
"Malah bengong." Lia menggeplak paha anaknya, membuat sang empu sadar dari lamunannya.
"Terus aku harus kasih tanggapan apa, Bun?" ucap bian datar.
"Kamu gak seneng apa, liat ponakanmu nanti tunangan? Om macam apa kamu ini."
Lihatkan, Bundanya seperti tidak memikirkan perasaannya sama sekali. Bian lalu memaksakan tersenyum, "Aku turut bahagia."
"Nah, gitu dong, Move on. Kamu itu gak boleh suka sama ponakan sendiri. Lagian sekarang Zea itu calon orang."
"Masih bulan depan, Bun."
"Sama aja sayang. Ikhlas ya," Lia mengelus rambut legam anaknya.
"Perihal mengikhlaskan adalah sesuatu yang mudah, Bun. Tapi itu hanya berlaku diucapan, tidak pada hati."
Sesudah mengatakan itu Bian mencium pipi Lia dan pergi dengan emosi di dadanya. Ia menghidupkan mesin mobil lalu melajukannya dengan kecepatan tingi. Dengan begini ia bisa meluapkan emosinya dan akan merasa lebih baik setelah melakukannya.
"Gue salah suka sama lo, karna kita punya hubungan darah, hal itu yang membuat lo sulit digapai. Dan ketika tahu lo dijodohin, gue semakin sadar kalau lo semakin sulit gue jangkau."
"Terus gue harus kayak orang munafik, Yang berpura-pura biasa aja liat lo tungangan sama orang lain?" Bian teus melajukan mobilnya, tetapi pandangan nya terlihat kosong.
*
Setelah penat melanda karna hampir 2 jam mengikuti pelajaran dosen baru, akhirnya jarum jam menyelamatkan kekenyangan otak dan keroncongnya perut. Seperti biasa, Zea dan Rara akan berjalan bersisian menuju kantin.
"Zea makan.. nya apa," Zea mulai bernyanyi lagu masa kecilnya.
"Cilok" sahut Rara, meladeninya.
kini giliran Rara yang akan bernyanyi dengan suara cempreng andalannya. Urat malunya sepertinya mulai berkurang setelah berteman dengan Zea. Bagaiamana tidak, beberapa pasang mata sudah menatap mereka karna terlalu rusuh. "Rara makan.. nya apa,"
"Golok," timpal Zea dan langsung dihadiahi geplakan oleh Rara.
"Sembarangan!"
Setelah sampai mereka lalu memesan makanan masing-masing dan mulai menyantapnya. Namun Zea terlihat melamun dengan menyedot es tehnya. Ia sedang memikirkan perkataan Mamanya yang berkata lewat telpon, kalau dirinya akan dijodohkan.
Rara menggeser mangkuk cilok Zea yang masih belum tersentuh. Padahal mie ayam miliknya saja sudah habis.
"Kalau gak mau bilang, dong. Biar gue yang habisin. Kalo didiemin kan sayang, nanti ciloknya nangis" Rara mulai mengaduk ciloknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Love Story With Uncle
UmorismoCinta tak harus memiliki? Omong kosong. Nyatanya hati kecilmu menginginkan untuk bisa memilikinya. Itulah yang dirasakan Zea Fahreya, gadis yang terjebak dengan perasaan cinta yang salah terhadap Omnya. Lalu, bagaimana ketika takdir mempersatukan me...