Alunan melodi dari aplikasi pemutar musik terdengar merdu memenuhi ruangan bernuansa hijau mint. Warnanya yang kalem selalu berhasil membuat si pemilik kamar betah dan nyaman di dalam sana.
Kamar seluas 3×4 m tersebut memiliki rak buku non fiksi di sudut ruangan, papan tulis selebar 100×50 cm dengan to do list tertulis di sana pun tampak tergantung di sebelahnya.
Ditambah lagi meja belajar dengan latar beberapa notes berisi harapan serta kata penyemangat yang tertempel di besi di atasnya. Sungguh, siapa pun yang memasuki ruangan tersebut akan otomatis tahu, kalau si pemilik ruangan merupakan orang yang penuh ambisi dan terorganisir.
Suara ketukan mengalihkan atensi seorang perempuan dengan kacamata bulatnya di kursi meja belajar. Kucir kudanya bergerak mengikuti pergerakan kepala yang menoleh ke arah pintu.
Klek!
"Ayah boleh masuk?"
"Ayaaah ...."
Pertanyaan tadi dabalas hamburan oleh si pemilik ruangan. Membuat orang yang memanggil dirinya sendiri "ayah" terkekeh geli karenanya.
"Orang Ayah tanya, bukannya dijawab malah ditubruk. Aya ini gimana, sih?"
Athiya menarik diri. Bibinya maju beberapa senti. "Biarin. Orang nggak mau jawab. Maunya nubruk."
"Kayak kambing." Arkan--ayah Athiya--menarik gemas hidung mungil sang putri. "Mbek ...."
"Ayah, ih."
Lagi-lagi Arkan terkekeh. "Ini Ayah disuruh jadi patung selamat datang, nih? Enggak disuruh masuk? Ya udah, selamat datang, guys. Selamat memasuki kamar Aya yang bau mbek," Arkan berdiri di sebelah pintu dengan tangan seperti kucing-kucing di toko Cina. Semakin membuat Athiya sebal sekaligus gemas.
"Enak aja bau mbek. Ya udah sini, Profesor, silakan duduk di kursi laboratorium kebanggaan." Athiya menepuk-nepuk pinggiran kasur. Senyum manis ia tunjukkan ke arah sang ayah.
Arkan memasang wajah angkuh--walau di mata Athiya malah terkesan seperti wajah menahan pup--lalu duduk di kasur yang tadi Athiya bersihkan--dengan bersila. Memang ada-ada saja ayahnya ini. "Terima kasih, Bu Dokter."
Athiya terbahak. Walau tak urung, dirinya pun ikut bersila di depan ayahnya itu. "Tumben, Yah. Ada apa?"
"Halah, kamu ini soksokan. Ayah tau, kali. Kalau malam ini Bu Dokter cilik ayah lagi dalam mode gelisah galau merana."
Athiya nyengir. Ayahnya ini memang orang paling peka sedunia.
"Sekarang aja pasti lagi dalamin materi UTBK, kan?" tanya Arkan sembari melirik meja belajar sang putri.
Lagi-lagi Athiya nyengir. Memamerkan deretan gigi rapinya.
"Sini-sini. Mendekat ke Ayah." Tiba-tiba Arkan menurunkan kaki. Membuat dirinya kini duduk menghadap pintu putih dengan logo salah satu universitas di Yogyakarta tertempel di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
12/8 Month [END] ✔️
Teen Fiction"Tepat di kelas 12, selama 8 bulan ini, kita resmi saingan!" __________________ Bagi Athiya atau yang kerap disapa Aya, nilai itu segalanya. Lo bisa dihargai, karena nilai. Lo bisa dianggap pintar, karena nilai. Dan lo juga bisa dianggap berprestasi...