18. Zefran

238 46 6
                                    

"Saingan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Saingan?"

Athiya mengangguk. Kepalanya menunduk dalam-dalam.

"Jadi itu yang bikin Aya belajar mati-matian?"

Lagi-lagi Athiya mengangguk.

"Sampe lupa makan, sampe minta les privat, sampe lupa sama kucing-kucing di pertigaan," cibir Arkan, yang membuat arwah bebek hadir, dan masuk ke raga Athiya hingga membuat bibir itu maju beberapa senti.

"Bener, kan?"

"Iya ...," jawabnya lesu, "Maafin Aya, ya, Yah."

Ngomong-ngomong soal kucing, Athiya jadi ingat kalau dirinya sudah jarang menemui mereka lagi. Kalau tidak salah kira, terakhir dirinya bertemu dan memberi makan hewan berbulu itu adalah satu bulan yang lalu. Atau mungkin malah lebih?

Semoga saja mereka tidak kelaparan saat Athiya lalai kemarin.

Helaan napas keluar dari mulut Athiya. Pandangannya kini kosong menatap ke luar jendala kamar yang tengah dikuasai sang ratu malam.

Ada yang mengganjal di diri gadis berkacamata itu. Rahasia-rahasia yang belum ia ceritakan masih banyak tersimpan di kepala. Berputar, memenuhi ruang itu sampai ingin pecah rasanya.

Perubahan Athiya yang tiba-tiba diam tentu tidak luput dari pandangan Arkan. Pria itu mengernyit melihat sorot mata sang putri yang kosong menatap luar. Tidak biasanya.

"Sejak kapan Bu Dokter Ayah ini jadi tukang simpen rahasia?"

Kepala Athiya menoleh seketika. Matanya mengerjap menatap sang ayah--yang juga tengah menatapnya--seolah tengah mencerna apa yang barusan ia dengar.

"Maksud Ayah?"

Bukannya menjawab, Arkan justru menarik hidung mungil di hadapannya. "Aya kira Ayah nggak tau, ha?"

"Oooh!" Mata Athiya melebar girang. Detik berikutnya, cengiran terbit menampilkan gigi berginsul itu.

"Udah sadar?" Kedua alis Arkan terangkat dengan kepala mendongak. Kedua tangannya menyilang di dada. "Sok atuh cerita. Ayah maksa."

Athiya menghela napas.

Bayangan tentang suara itu.

Bayangan tentang wajah-wajah penuh ejekan itu.

Semua mulai tergambar jelas di kepala Athiya. Berputar tanpa henti di ruang itu, seolah tengah diputar oleh sang pemilik rumah dengan volume serta kecepatan penuh.

Athiya memejam dalam-dalam. Dirinya tidak boleh menangis lagi. Dirinya tidak boleh kembali lemah karena mereka. Tidak boleh. Athiya harus segera cerita dengan Arkan agar semuanya lega.

Jujur, Athiya bukan tipe orang yang susah bercerita tentang masalah, bahkan hal sekecil bertemu gerombolan semut yang sedang berebut kue tart saja ia ceritakan kepada kedua orang tuanya.

12/8 Month [END] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang