"Serius mau berangkat sekolah? Nanti pingsan lagi gimana?"
"Enggak, Bund. Kan Aya udah sarapan."
"Bekalnya udah dibawa?"
"Udah."
"Minumnya?"
"Udaaah."
"Sandwich alpukat? Obatnya?"
"Udah, Bundaku sayaaang ...." Athiya berujar gemas. "Semua udah Aya bawa, kok. Bunda nggak usah khawatir lagi, yaaa."
Athiya memandang lurus mata Renata yang lebih pendek dari dirinya. Kedua tangannya memegang lembut bahu yang selalu menjadi tempat ternyamannya itu. Bibirnya mengembangkan senyum--berusaha meyakinkan sang bunda kalau dirinya memang baik-baik saja.
"Pantesan Ayah cari kemana-mana enggak ada. Eh, ternyata lagi berduaan di sini." Arkan muncul dari balik pintu dengan sebelah tangan menyampirkan dasi ke pundak. Bibir di bawah kumis tipis itu tampak manyun memandang dua wanita di sana.
"Bunda tega," katanya melirik wanita berdaster biru. "Mentang-mentang anak kesayangannya lagi sakit, suaminya yang aduhai tampan menawan ini dilupain gitu aja. Jahat!"
Drama dimulai ....
Athiya hanya bisa menghela napas lelah melihat kelakuan pasangan yang sudah tidak lagi muda, tetapi kelakuannya melebihi ABG itu. Dirinya lebih baik menghapal rumus Fisika dari pada mendengar celoteh sang ayah yang selalu berhasil bikin dirinya mual.
"Udah pacarannya?" tanya Athiya saat melihat sang ayah tengah mematut dirinya di cermin.
"Belum. Rambut Ayah belum disisirin tangan Bunda. Belum ganteng maksimal."
Tidak peduli dengan sang putri yang tengah pura-pura mual, pria berkepala empat itu kembali mendekati Renata. Kakinya sedikit menekuk agar sang istri bisa lebih leluasa memegang rambutnya. Padahal rambut Arkan sudah rapi sebelum diapa-apakan Renata, tetapi memang dasarnya modus ya mau gimana.
"Nah, gini, kan, cakep," ujar Arkan sembari mematut dirinya sekali lagi. Bermacam-macam pose ia lakukan di depan cermin besar Athiya. Mungkin bila kaca itu bisa berbicara, Athiya yakin seratus persen, benda itu pasti akan berteriak, "Bosen gue liat muka lo, coy!"
"Beneran mau berangkat?"
Athiya menghela napas lelah. Sudah hampir lima belas kali bundanya menanyakan hal itu. Dan kini, hanya tinggal melewati pintu keluar saja lalu berangkat sekolah, tetapi masih saja diragukan oleh sang bunda.
Padahal wajah Athiya pagi ini sangat cerah secerah muka Mas Winwin. Tidak murung atau pucat seperti kemarin. Apa masih kurang cerah, ya?
"Nggak usah berangkat aja, deh. Bunda khawatir Aya kenapa-napa." Renata membenarkan dasi Athiya. Iris itu menatap sang putri dengan puppy eyes andalannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
12/8 Month [END] ✔️
Teen Fiction"Tepat di kelas 12, selama 8 bulan ini, kita resmi saingan!" __________________ Bagi Athiya atau yang kerap disapa Aya, nilai itu segalanya. Lo bisa dihargai, karena nilai. Lo bisa dianggap pintar, karena nilai. Dan lo juga bisa dianggap berprestasi...