"Aya nggak mau berangkat ke acaranya Ita, ah, Yah."
"Loh, kenapa?" Renata menyambar.
"Enggak, ah, Bund. Aya mau di rumah aja."
Renata menghampiri sang putri yang tengah mengerucutkan bibir di kursi makan. Senyum lembutnya terulas. "Ita sahabat Aya, kan? Masa nggak ikut seneng liat temen sendiri lolos?"
"T-tapi, kan ... Aya ... nggak lolos, Bund ...." Nada Athiya melirih di akhir kalimat.
"Bukan nggak lolos, tapi belum rejeki," timpal Arkan sembari menoel hidung mungil Athiya. Memilih mengabaikan laptop di depannya, dan mulai memfokuskan diri menghadap ke sang putri.
"Sama aja."
"Loh, beda, dong. Ini, tuh, ibarat Aya mau ke mal sama Ita."
Athiya mengernyit. Tidak paham.
"Iya. Nih, misal, ya." Arkan mengambil tiga sendok yang ada di wadah alat makan di depannya. "Misal kalian janjian pulang sekolah mau ke mal bareng. Tapi ketemuannya di mal itu."
Arkan menata tiga sendok itu menjadi saling berpencar. "Sendok ini ibarat rumah Aya." Arkan menaruh alat makan itu di dekat Athiya. "Ini rumah Ita, dan ini mal," lanjutnya sembari memosisikan sendok itu seolah simbol dalam sebuah peta.
"Nah, dari sini ketahuan, mana jarak yang lebih deket sama mal. Rumah Aya. Kan?"
Athiya mengangguk.
"Tapi Aya bisa jamin, nggak, kalo Aya bisa ke mal lebih cepet dari Ita?"
"Bisa." Athiya menjawab mantap. Mengingat dirinya adalah pribadi yang terorganisir dan bermoto, "lebih baik menunggu daripada ditunggu".
"Iya kalo nggak ada kendala, terus Aya bisa ngelakuin sesuai dengan apa yang udah Aya susun. Tapi kalo ada kendala? Misal ada tamu di rumah, atau Aya disuruh beli sesuatu sama Bunda, atau di jalan macet, jalan ditutup karena hajatan, dan semacamnya, yang bikin perjalanan Aya enggak semulus ekspektasi. Bisa aja telat, kan?"
Bener juga.
Bibir Arkan terangkat saat melihat sang putri sudah mulai paham dan setuju dengan apa yang ia jelaskan. "Nah, jadi nggak bisa jamin, kan?"
Athiya mengangguk pelan. "Kan beda rumah, beda jalan--"
"Itu dia!" Arkan menyambar cepat. Kedua bibirnya merekah. "Beda jalan, beda jalur, beda nasib. Sama kayak SNMPTN kemarin, Bu Dokter." Arkan tersenyum. Sebuah lengkungan bibir yang selalu berhasil membuat hati Athiya tenang karenanya. Pantas saja bundanya selalu tidak masalah dengan kebucinan sang ayah.
"Jadi?" Renata duduk di samping kanan Athiya. Mengapit gadis itu di antara dirinya dan Arkan.
Athiya melirik bergantian kedua orang tuanya yang tersenyum. Perlahan bibirnya ikut tertarik. Helaan napas keluar dari bibirnya. "Oke, Aya mau berangkat."
KAMU SEDANG MEMBACA
12/8 Month [END] ✔️
Teen Fiction"Tepat di kelas 12, selama 8 bulan ini, kita resmi saingan!" __________________ Bagi Athiya atau yang kerap disapa Aya, nilai itu segalanya. Lo bisa dihargai, karena nilai. Lo bisa dianggap pintar, karena nilai. Dan lo juga bisa dianggap berprestasi...