Gara-gara nilai ulangan Matematika anjlok sampai membuat Athiya remedial di ujian kenaikan kelas kemarin, kini gadis itu menjadi lebih protektif pada diri sendiri.
Seperti sekarang, gadis berkacamata bulat itu kini tengah berkutat dengan buku catatan serta buku paket tebal sedari pulang sekolah tadi. Dengan ditemani segelas jus buah alpukat, Athiya tampak sudah tidak perlu lagi untuk makan nasi. Padahal jam digital yang berada di meja belajarnya sudah menunjukkan pukul 19.21.
Renata bahkan sudah capek menyuruh Athiya keluar dari kamar supaya makan terlebih dahulu. Namun, Athiya tetap Athiya. Gadis itu masih kekeh bilang kalau belum lapar. Padahal, alasan lain Athiya belum makan, ya, karena takut kekenyangan. Yap, kekenyangan yang bisa mengundang rasa ngantuk. Athiya takut kalau nantinya dirinya ketiduran.
"Ayaaa, kalau sampe di menit tiga puluh kamu belum makan juga, Bunda gembok pintu kamar kamu dari luar. Biar sekalian nggak usah berangkat sekolah besok!"
Deg!
"Ih, Bundaaa ... Aya belum laper, tau. Nanti malah nggak nafsu makannya," teriak Athiya masih di meja belajar. Pintu kamar memang sengaja dirinya kunci untuk menghindari penyeretan oleh sang bunda tercinta.
"Nggak ada nggak nafsu-nggak nafsu. Ayo makan. Bukunya bawa ke luar."
Athiya menghela napas. "Iya, deh." Terpaksa, akhirnya mau tidak mau gadis berkucir kuda itu turun dari kursi meja belajarnya. Di sebelah tangannya sudah ada buku catatan, alat tulis, serta buku paket seperti yang bundanya sarankan.
"Nah, gitu, dong." Suara Renata menyambut di depan pintu. "Makan dulu baru nanti lanjut lagi biar lebih fokus."
Athiya diam. Gadis itu hanya mengekor di belakang sang bunda.
"Duduk sini, Bunda suapin."
Yap! Seperti inilah hari-hari Athiya jika gadis itu sampai melupakan makannya. Renata sampai bela-belain menyuapi saking gemasnya dengan sang putri. Lagi pun, dia tahu alasan di balik Athiya yang seperti ini. Apa lagi kalau bukan ulangan di mata pelajaran yang paling sulit gadis itu kuasai.
"Loh, Bund. Kok kita udah punya debay lagi? Perasaan baru dibikin kemarin, deh. Kok udah jadi aja?"
Uhuk!
Athiya meraih minum sambil melirik Arkan kesal. "Ayah, ih."
"Ih, kok debay-nya udah bisa ngomong, sih, Bund? Bisa baca sama nulis juga, lagi. Aj--aw!"
"Ayaaah ...."
"Hust, udah-udah. Kalian ini berantem mulu kerjaannya." Renata menyuapi Athiya, sebelum pandangannya beralih melirik Arkan di samping kanannya--bersembunyi. "Ayah juga. Jangan ganggu Aya mulu, ih. Sana nonton bola aja."
"Tuh, Yah. Dengerin. Nonton bola aja sana." Athiya ikut mengompori.
Namun, bukannya pergi, Arkan malah memeluk tubuh Renata dari samping. Kepala pria itu mendusal di ceruk leher Renata. "Nggak mau. Masa Bunda tega, sih, nyuruh Ayah nonton sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
12/8 Month [END] ✔️
Teen Fiction"Tepat di kelas 12, selama 8 bulan ini, kita resmi saingan!" __________________ Bagi Athiya atau yang kerap disapa Aya, nilai itu segalanya. Lo bisa dihargai, karena nilai. Lo bisa dianggap pintar, karena nilai. Dan lo juga bisa dianggap berprestasi...