"Nilai memang bukan segalanya, tetapi selain tuntutan, rasa puas yang dihasilkan selalu berhasil menjadi candu yang mematikan."
-- Athiya Cahyandini"Baik buruknya suatu kejadian, bisa terjadi karena undangan pikiran sendiri."
Jujur, Athiya tidak percaya dengan kalimat itu. Amat sangat tidak percaya bahkan. Atau malah mungkin ... menolak percaya? Entahlah. Yang pasti, Athiya takut kalau hal itu benar adanya.
Karena ia sadar, dirinya tipe orang yang mudah terpengaruh. Mudah tergoyah oleh suatu keadaan. Apa lagi keadaan itu sudah menyimpang jauh dengan ekspektasinya sebelum itu. Dirinya takut kalau pikiran buruknya menjadi nyata.
Dan yah ....
Terbukti.
Keraguan pada diri sendiri langsung terjawab dengan kejadian setelahnya. Rasa tidak percaya dan takut yang mendominasi berhasil membuat pikiran jernih itu terganggu seketika.
Mata Athiya memanas. Bayangan seseorang tanpa kacamata dengan ikat kuda yang sudah tak lagi rapi itu tampak mengenaskan dari balik kaca sana.
"Bener. Gue udah goblok sekarang."
Athiya meremas kertas folio berisi tulisannya sendiri dengan angka 81 bertinta biru tercetak di pojok kanan atas. Pak Dodot baru saja membagikannya beberapa waktu lalu sebelum membubarkan muridnya agar pulang ke rumah masing-masing.
Mungkin, jika orang lain yang mendapat nilai itu akan biasa saja, atau bahkan ada yang senang sampai ke rasa bangga. Namun, tidak dengan Athiya. Apa lagi, Fisika merupakan salah satu mata pelajaran kesukaannya. Nilai 90-an sudah menjadi makanan sehari-hari bagi dirinya.
Lalu ini apa? Kenapa? Kenapa bisa semerosot ini nilainya?
Dan tadi ... dirinya sempat melirik kertas ulangan milik cowok di bangku depannya. Angka 86 yang tercetak di sana benar-benar membuat Athiya semakin merasa kalah oleh cowok itu.
"Kok bisa dia lebih unggul? Kok bisa?"
Katakan saja Athiya egois. Gadis itu tidak ingin ada orang yang nilainya lebih tinggi dari dirinya. Ia tidak ingin seorang pun lebih unggul dari dia. Apa lagi Zefran--saingannya.
"Gue harus belajar lebih giat lagi. Aya nggak boleh kalah dari siapa pun. Apa lagi Zefran!"
Mengusap wajah kasar, Athiya kembali memakai kacamata yang tadi diletakkan di samping wastafel. Netranya menyorot lurus bayangan dirinya di cermin sana. "Lo pasti bisa, Ay! Semangat!"
Athiya memasang senyum paling manis yang ia punya. Dirinya harus tampil seolah tidak pernah tergoyah oleh nilai itu di depan Zefran. Dirinya tidak boleh memperlihatkan kelemahannya di depan cowok itu!
***
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa, satu minggu semenjak kejadian ulangan Fisika itu sudah terlewati begitu saja. Namun, bukan hanya waktu yang bertambah, tetapi juga lingkaran hitam di balik kacamata kotak berbingkai hitam itu juga tampak bertambah dan semakin hitam hari demi hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
12/8 Month [END] ✔️
Teen Fiction"Tepat di kelas 12, selama 8 bulan ini, kita resmi saingan!" __________________ Bagi Athiya atau yang kerap disapa Aya, nilai itu segalanya. Lo bisa dihargai, karena nilai. Lo bisa dianggap pintar, karena nilai. Dan lo juga bisa dianggap berprestasi...