"Ay? Lo udah sadar?"
Suara panik langsung menyambut pendengaran Athiya begitu mata yang biasanya berbingkai itu berhasil menyesuaikan dengan cahaya di ruangan serba hijau itu. Tanpa menoleh pun dirinya sudah tau siapa orang pemilik suara. Kepalanya masih pening untuk sekadar mencari keberadaan si pembicara.
"Kok gue di sini?" tanyanya lirih.
"Lo pingsan." Ita mendaratkan bokongnya di kursi sebelah ranjang setelah membantu sang sahabat mendudukkan diri dengan bersandaran bantal. Helaan napas lolos setelah tangannya meletakkan bubur ayam ke meja nakas.
"Nggak gue beliin jus dulu biar buburnya kemakan." Ita mengambil air mineral yang ia beli di warung dekat rumah Athiya. Membukanya, kemudian disodorkan ke cewek di hadapannya. "Gue tau lo belum makan dari pagi," ucapnya sambil melirik Athiya yang tengah minum dengan mata berusaha tidak menatap matanya.
Sembari mengambilkan kacamata Athiya di nakas, gadis berpipi chabi itu mendengkus.
"Ay, lo kok bisa enggak sarapan sama nggak bawa bekal, sih? Padahal lo penganut kepercayaan kalau sarapan itu baik dan penting. Kok bisa sampe kelupaan? Padahal tadi lo juga nggak telat loh."
Athiya menghela napas. Kepalanya terasa semakin pening mendengar ocehan Ita yang sudah seperti kereta api itu.
Namun, di lain sisi, tidak dapat dipungkiri, dirinya juga senang dengan hal ini. Dirinya senang Ita kembali peduli padanya. Dirinya rindu omelan dari bibir mungil itu.
Heran dengan Athiya yang diam saja dan malah senyum-senyum menatap dirinya membuat rambut-rambut halus gadis itu seketika berdiri. Kursi beserta tubuh mungil itu berangsur mundur dari ranjang Athiya.
"Ay, lo nggak berubah jadi--"
"Makasih, ya, Ta."
Kalimat itu sontak membuat bibir Ita berhenti bergerak. Kursi yang tadi dipaksa mundur pun kini seketika berhenti bersamaan dengan si penunggang. "Makasih?" tanyanya.
Athiya mengangguk. "Makasih udah peduli lagi sama gue." Seulas senyum terbit di bibir pucat itu. "Maaf buat semuanya, ya."
Entah mengapa, udara di kamar Athiya terasa menipis setelah kalimat itu terucap. Dada yang menyesak itu memancing buliran-buliran bening untuk menciptakan embun di netra masing-masing.
"Aya ...." Ita langsung berhambur memeluk tubuh lemas di hadapannya. Buliran bening yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah di pundak sang sahabat. "Harusnya gue yang minta maaf."
Ita menarik diri dari pelukan. Matanya yang basah menatap penuh sesal ke arah Athiya. "Maafin gue karena malah ikut-ikutan jauhin lo kayak yang lain. Maafin gue yang udah ikut-ikutan jadi beban kepala lo. Maafin--"
"Sstt ... udah, udah." Athiya kembali menarik Ita ke dalam pelukan. "Nggak papa," katanya, "harusnya gue yang makasih, malah. Berkat kalian, gue jadi sadar kalo ternyata gue terlalu mementingkan diri sendiri selama ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
12/8 Month [END] ✔️
Teen Fiction"Tepat di kelas 12, selama 8 bulan ini, kita resmi saingan!" __________________ Bagi Athiya atau yang kerap disapa Aya, nilai itu segalanya. Lo bisa dihargai, karena nilai. Lo bisa dianggap pintar, karena nilai. Dan lo juga bisa dianggap berprestasi...