[Part 19 : Sudah Bersyukur?]

3K 324 14
                                    

Tahu sulitnya membuat karya?

Jika tidak, selamat.

Kalian takkan pernah tahu, bagaimana sebuah apresiasi begitu berharga untuk seorang pembuat karya.

•🍄🍄🍄•

Netra tiga orang memandangi pemandangan dari balik kaca jendela. Kendaraan yang saling salip-menyalip, para pejalan kaki, bahkan beberapa perjumpaan dengan lampu lalu lintas menjadi pemandangan terulang yang bisa diperhatikan. Sesekali dua lainnya melirik kearah si pengemudi yang saat ini tubuhnya terbalut kaus oblong, nampak begitu santai diikuti beberapa kali siulan yang mengalun dari belah bibirnya.

Jio, Cetta, dan Haekal.

Tiga orang itu berada dalam perjalanan untuk menimba ilmu di jenjang masing-masing. Tak ada suara lain di dalam mobil, selain suara ramai yang berasal dari tv monitor yang sama sekali tak ditonton oleh Cetta. Anak itu mulai meminum salah sekotak jus yang tersedia banyak disana, serupa dengan Jio yang tengah mengunyah sisa roti dalam rongga mulutnya. Haekal yang kali ini bergantian mengantarkan adik-adiknya, karena Nana katanya memiliki sebuah urusan dalam beberapa jam berikutnya.

Kemudian, perjumpaan dengan seorang pengemis membuat mereka bertiga meletakkan afeksi penuh padanya. Tubuhnya kumal, pakaiannya yang lusuh dan ringkihnya raga si Bapak tua membuat mereka tertegun detik itu juga. Haekal, yang berada di bangku kemudi dapat menangkap bagaimana bibirnya nampak pecah-pecah, menandakan seberapa lamanya dahaga Bapak tua itu belum terpuaskan oleh air.

Dengan segera, Haekal beserta inisiatifnya mengambil seluruh lembaran tunai miliknya yang ada di saku, mengambil dua botol air minum dan sisa dua bungkus roti yang masih tersegel, memasukkannya ke dalam selembar paperbag kosong yang untungnya masih tersimpan. Menurunkan kaca jendela hanya untuk memberikan kesemuanya pada si Bapak pengemis, yang kondisinya demi Tuhan sungguh memilukan.

"Makasih ya Nak, do'a Bapak selalu yang baik-baik buat kamu."

"Makasih kembali, Pak."

Mobil kembali berjalan, seiring lampu yang bertukar warna menjadi hijau. Jio merendahkan sandaran kursinya untuk bisa lebih bersantai, melirik kearah Cetta yang masih tetap menatap pemandangan diluar. Satu jarinya mengetuk-ngetuk pelan kaca, menatap pemandangan apapun yang bisa ditatap dengan sorot mata yang sedikit... berat dan sendu.

Pagi ini, ketiganya mendapat pelajaran bermakna.

Mereka telah menjadi saksi, bagaimana ternyata ketimpangan kasta masih jelas terjadi disekitar.

Dan bagaimana kesenjangan sosial masih jelas akan eksistensinya, seolah dibatasi oleh tembok kokoh nan tinggi tak kasat mata.

Ah, rupanya hedonnya lingkungan elit tak menjamin jika kebutuhan seluruh warga penduduknya terpenuhi. Dibangunnya gedung-gedung pencakar langit juga bukanlah bukti bahwa seluruh masyarakatnya terlahir dari kalangan berada.

Untuk sesaat, benak mereka dipenuhi oleh rasa syukur teramat. Bagaimana Tuhan begitu bermurah hati untuk membiarkan keluarga Adyatama masih bisa merasakan banyak hal yang tak banyak dapat dirasakan kalangan lainnya; setidaknya bisa tidur diantara empuknya kasur, makanan lezat, pakaian yang layak, dan sebuah rumah yang sangat nyaman untuk ditinggali.

Tuhan sangat baik telah membiarkan kesemuanya bisa merasakan kebahagiaan dari hal-hal sederhana, juga membiarkan mereka hidup dalam kehangatan lingkup kasih sayang dan cinta kasih antar saudara. Meski tak bisa dikatakan lama untuk bisa merasakan kehadiran orang tua lengkap, namun tak apa. Karena lagi-lagi, Tuhan memang sangat baik karena telah menukarnya dengan nikmat lain yang harus sama-sama mereka syukuri keberadaannya.

ABOUT DREAM - NCT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang