"Hayo... Kenapa belum tidur tuh?"
Pintu kamar kembali ditutup, secara perlahan-lahan agar tak menciptakan suara bising berarti. Nana bisa menatap keberadaan Jio si empunya kamar yang masih terjaga. Netranya berpendar ke langit-langit ruangan, melupakan bahwa waktu tidurnya telah lewat sejak satu jam lalu.
"Mikirin apa sih, sampe belum bisa tidur?"
Jio ingin menggerutu kesal, sebab pemuda itu ikut bergelung dibalik selimut yang membungkus kemudian memeluk erat tubuhnya. Sedetik kemudian Jio justru merasa tersanjung, teringat bahwa Nana adalah orang yang akan melampiaskan rasa sayang dan cintanya serupa dengan 'physical touch'. Seperti Haekal. Pelukan, tepukan lembut, kecupan, semua itu sudah pernah diberikan oleh Nana pada Jio beserta saudaranya yang lain.
"Nggak papa."
Jio memainkan remot AC di tangan, berbeda dengan Nana yang malah memainkan pipi sang adik lewat menusuk-nusukkan pelan satu jarinya.
"Gionathan ngambek ya?"
Nana terus menguyel lembut pipinya, bertanya dengan nada menggemaskan yang dibuat-buat. Entah Nana yang terlalu peka hingga bisa menyadari jika Jio lebih sering melayangkan sorotan cuek dan datar akhir-akhir ini, ataukah hanya sekedar feeling?
Padahal faktanya, tidak seperti itu.
"Sorry to say, aku bukan Cetta yang suka ngambek, Bang Na."
Kalau yang dimaksud Nana adalah insiden kecil yang terjadi kemarin, maka tak butuh waktu lama bagi Jio untuk dapat langsung menangkapnya. Perihal si bungsu yang lebih memilih delivery makanan cepat saji daripada menunggu kepulangan sang Kakak yang sebelumnya ia minta untuk memasak sesuatu. Kemudian menghabiskan sisa malamnya untuk mengunci diri dalam kamar, demi menghilangkan rasa lelah fisiknya. Mengabaikan rasa kebingungan Nana ketika dirinya pulang.
Jio mana? Katanya laper.
Sampah makanan yang tak sengaja Nana temukan, membuatnya mengangguk paham detik itu juga. Selain rasa bersalah, terbesit pula sebuah rasa penyesalan dalam benak Nana. Sayang sekali pemuda itu tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana rasa lapar menyerang Jio sampai membuatnya tak sanggup menunggu kepulangan Nana, sehingga membeli makanan dari luar adalah opsi buntu yang mau tak mau harus dipilih.
Nana rasa semua itu jelas merupakan kesalahan total yang sudah ia perbuat. Termasuk dengan kesibukannya yang membuat Nana belum sempat berbelanja bahan makanan, yang pada akhirnya tidak bisa mengganjal rasa lapar Jio meski sedikit. Bayangkan, jika saja Jio memiliki riwayat magh kronis atau lebih buruknya sampai jatuh pingsan karena terlalu lama menahan rasa lapar.
Mengerikan, dan bersyukurlah karena dampak terburuk itu tidak benar-benar terjadi pada Jio.
Bagaimanapun, seorang adik adalah tanggung jawab sang kakak, terlebih lagi jika tidak adanya keberadaan orang tua. Nana pun selalu menekankan petuah itu dalam pikirannya. Termasuk untuk bersukarela memuaskan perut si adik, hingga lapar tak lagi terasa.
Demikian, sah-sah saja jika Jio akan menunjukkan sikap ngambek, secara pada dasarnya Nana memang pantas mendapatkannya. Namun ketika Jio justru mengutarakan bahwa dirinya tidak marah, justru membuat Nana lekas menyadari jika seonggok rasa bersalahnya semakin menyeruak memenuhi rongga dada.
"Beneran Bang. Lagian siapa juga yang bilang kalo aku ngambek?"
Nana mendengus malas.
"Ada gitu, orang ngambek betulan tapi bilang-bilang?"
Tapi sungguh, Jio berkata jujur 'kok.
Hanya saja, sejujurnya perasaan dari hati mungilnya terkesan campur aduk sampai detik ini.
Mungkin jika dibilang cemburu, agak kekanakan, namun itulah faktanya. Karena sesungguhnya, Jio selalu terbiasa terhadap Nana yang selama ini senantiasa memprioritaskan dirinya dibandingkan saudaranya yang lain, dan akan selalu terbiasa juga dengan sifat mengayomi dari putra kelima Adyatama itu. Jadi begitu Nana sedikit saja mengedepankan saudaranya disaat Jio sangat membutuhkannya, perasaan tersisihkan itu lantas muncul sedemikian rupa. Alhasil menciptakan sepercik api cemburu di sudut hati Jio.
Benar-benar egois dan kekanakan, tapi tetap saja bagi Jio rasanya tidak enak.
Yang pasti, apa yang Haekal pikirkan memang benar. Nana memang merupakan sesosok Ibu pengganti bagi Jio; yang selalu siap menuruti apapun keinginan sang adik serta memanjakannya dengan limpahan perhatian.
Contohnya saja, tak peduli meski waktu telah menginjak dini hari, nyatanya Nana akan tetap bersenang hati jikalau untuk melayani rasa lapar si bungsu.
Catat. Hanya Gabby Nathaniel, yang rela melakukan hal itu.
Kekurangannya yang tidak bisa melakukan hal apapun dengan sempurna, tanpa sadar juga menambahkan satu alasan lag bagi Jio untuk lambat laun melemparkan sebuah rasa tanggung jawabnya kepada Nana. Bahkan seiring berjalannya waktu, Jio juga telah lama menetapkan Nana sebagai tempatnya bergantung, tanpa peduli jika itu akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri di kemudian hari.
Jio benci itu.
Dia akan selalu membenci fakta bahwa Han Gionathan adalah sesosok adik yang manja, dan memiliki sifat bergantung yang baginya sendiri terkesan menyusahkan. Baik untuk Nana, ataupun untuk kakaknya yang lain.
Hingga memasak yang tergolong dalam kemampuan basic seseorang pun tidak bisa dia lakukan.
Untuk kedua kali, Jio merasa cemburu, hanya saja kali ini kepada seorang Arcetta Yuan. Berbanding terbalik dengannya, kemampuan Cetta sangat luwes dan itu membuatnya terkesan mudah untuk mempelajari dan menguasai suatu hal baru. Kemampuan kognitifnya luar biasa, dibekali kecerdasan logis yang baik, menguasai bidang seni namun disisi lain juga tetap menyukai olahraga membuat Jio merasa iri setengah mati jika tengah merenungkan semua anugrah yang ada dalam diri Cetta.
"Jadi, kamu beneran nggak marah ya, Ji?"
Jio tersenyum, "asal traktir di cafe."
"Yaudah hayuk besok."
Jio tersenyum tipis, pelukan di tubuhnya kembali menguat bersamaan dengan hembusan nafas cepat yang menerpa tengkuknya. Perlahan tapi pasti, hembusan nafas itu semakin tenang dan dalam tempo yang teratur.
Nana, tertidur.

KAMU SEDANG MEMBACA
ABOUT DREAM - NCT
FanficSepasang kembar pun, pasti memiliki setidaknya satu perbedaaan diantara keduanya. Apalagi yang hanya sekedar terlahir dari rahim yang sama. Mereka, tujuh orang putra Adyatama yang tampan, dengan karakteristik masing-masing yang begitu beragam. Apa...