"Kehilangan orang tua adalah kehilangan masa lalu, tapi kehilangan anak adalah kehilangan masa depan, itu lebih menyakitkan."--- Hantu Galau
_________
"Pak Hardi."
Ucapan Ratih membuatku tercengang, bahkan napasku tercekat saat dengan mudahnya Ratih menyebutkan pelaku pembunuh kakaknya sendiri. Tidak heran jika arwah kakaknya Ratih selalu membuntuti pak Hardi.
"Lo serius?" tanyaku tak menyangka.
"Iya, kita selisih sepuluh tahun sama gue, waktu itu gue mau masuk SD."
"T-terus, sekarang pak Hardi mungkin umurnya udah tiga puluh lebih, kok bisa ..." ucapanku terjeda, sedikit tidak enak kepada Ratih.
"Iya, Kakakku waktu itu masih berumur 17 tahun, sedangkan pak Hardi 25, dia nekat pacaran sama yang lebih dewasa," jelas Ratih. "Pak Hardi, nyerahin diri ke polisi dan mengakui kesalahannya, dia tetap di penjara. Cuman dikurangi menjadi sepuluh tahun."
Aku mengangguk mengerti, lantas menatap Ratih dia bahkan bercerita dengan wajah datar seperti itu, membuatku bertambah iba, kemudian mengusap punggung Ratih.
"Apa Lo masih baik-baik aja ngeliat pak Hardi?" tanyaku.
Ratih mengembuskan napas. "Sejujurnya gue gak baik-baik aja, gue pingin bolos di setiap ada pelajarannya bahkan gue gak mau nyebutin nama orangnya, gue benci banget."
Aku menggenggam tangan Ratih. "Gue iri sama Lo, sampai saat ini Lo bisa nahan kemarahan Lo terhadap pak Hardi, Lo kuat banget."
Terlihat air mata menetes di pipi Ratih. "Kakak pergi, tapi tetap aja dia pergi tanpa pamit. Gue juga sebenernya gak terima dia meninggal kayak gitu!" Tangisnya pecah.
"Ibu juga setiap jum'at selalu ke makam kakak, selama sebelas tahun itu, aku yakin dia belum bisa mengikhlaskan, ngeliat ibu kayak gitu gue juga jadi ikut gak ikhlas!" Ratih terisak.
Seberusaha mungkin aku tidak ikut menangis dan tidak bisa berkata apa pun, aku bahkan tidak bisa membayangkan sesakit apa ditinggalkan oleh orang yang disayangi. Tak kusangka Ratih memiliki luka yang amat dalam, Ratih dengan sifat dingin dan sedikit sombong akan menangis sekeras ini.
Aku menatap ke sosok di samping Ratih, dia sedang memperhatikan Ratih. Aku yakin dia sama sakitnya, aku bingung harus membantunya seperti apa. Sosok itu pernah meminta bantuan, tetapi aku menolaknya dan malah membiarkan Gandum menampar arwah kakaknya Ratih.
***
Setelah pulang dari rumah Ratih, aku hanya berjalan kaki saja karena jarak rumahku dan rumah Ratih lumayan dekat jadi tak perlu meminta jemput si Abang gondrong. Namun, satu hal yang membuatku tidak suka. Arwah kakaknya Ratih mengikutiku, sial!
Aku menghentikan langkah, arwah di sampingku pun ikut berhenti.
"Mau apa, hah?" tanyaku pada sosok arwah kakaknya Ratih.
"Waktu itu kamu nolak bantuin, kenapa sekarang?" tanyanya balik.
Setelah mendengar cerita Ratih, sifat simpatiku tergerak untuk membantu arwah ini. Aku masih memegang prinsip tidak mau membantu atau berhubungan lagi dengan hantu.
Aku hanya mengembuskan napas, lalu lanjut melangkah.
"Pasti karena dengerin cerita adik aku, yah ..." ujarnya. "Memang beruntung aku punya adik kayak Ratih." Dengan bangganya.
"Kenapa sih, Lo masih ada di sini? Harusnya Lo pergi!" kataku sengit.
"Aku gak bisa, aku gak bisa tenang ngeliat ibu ... selalu nangis setiap pulang dari makamku, aku tahu kehilangan anak memang sangat menyakitkan, tapi bukan berarti harus seperti ini selamanya. Aku ingin keluargaku bahagia walaupun tanpa aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Galau
Novela Juvenil[End] [Complete] #1 teenfintion 21/05/22 #3 teentlit 14/06/22 #1 Dareen 22/06/22 #1 keluarga 07/06/23 #1 ngakak 07/06/23 #1 arwah 07/06/23 #3 tertawa 08/06/23 #3 remaja 08/06/23 Nashita kesulitan menjalankan aktifitas di sekolahnya gara-gara dia bis...