Langit cerah. Namun, turun rinai air dari awan. Suasananya cocok untuk bersenang-senang, tetapi berbeda dengan aku dan sekelilingku alih-alih bersuka cita malah berduka cita. Aku tidak bisa memeluk tubuh kaku itu, aku tahu tidak seharusnya sepeti itu jangan sampai air mata menetes pada tubuh Firly, dia harus tenang walaupun bagiku sulit melepaskan.
Aku memeluk ibunya Firly yang terus terisak tanpa henti, aku tidak tahu harus berbicara apa. Yang paling terguncang di sini adalah ayahnya dia bahkan tidak meneteskan air mata yang malah menatap jasad di depannya.
Aku sadar tiga hari yang lalu dia berkata, "Tidak ada waktu lagi." Mungkin itu tanda bahwa tidak akan lama lagi dia akan pulang, pulang yang sesungguhnya.
Setelah beberapa menit membaca Yasin, tubuh kaku Firly diangkat dan dipindahkan ke keranda, seketika terasa sesak di dada kala kain berwarna hijau tua itu menutupi keranda, aku menangis terisak sembari berteriak, "Firly!"
Para laki-laki bahu membahu menggotong keranda itu keluar dari rumah, Ratih membantu menggandeng ibunya Firly, dia terus mengeratkan kepalan tangannya pada ibunya Firly. Mereka semua keluar mengiringi Firly untuk di sholati, sedangkan aku berada di paling terakhir.
Saat semua orang sudah pergi dan aku tertinggal di belakang. Terlihat dari ekor mataku seseorang memanggil dengan isakan pilu, awalnya aku pura-pura melihat, tetapi perlahan aku menatap sosok yang sedari tadi memanggilku. Aku menatap datar pada Firly, sedangkan dia menatapku terharu.
"Nashita," lirih Firly.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi, entah kecewa atau bahagia. Kecewa karena saat ini Firly meninggal, bahagia karena aku bisa melihat arwah Firly. Aku tidak tahu harus bereaksi apa, hanya saja ini membuktikan bahwa ketidakpercayaan Firly terhadapku yang bisa melihat makhluk tak kasat mata ternyata salah besar. Firly pasti percaya hal itu sekarang.
"Nash, Lo bisa liat gue?" Dia hendak menyentuhku, tetapi nihil malah tembus pada bahu. Dia terperangah. "Nashita! Lo liat gue, 'kan?"
Seakan tidak ada oksigen yang kuhirup, sesak kembali melanda dadaku. Air mata kembali mengalir deras, aku terisak. Nyatanya aku tidak bisa memeluk Firly untuk terakhir kalinya, aku berharap dia tidak memiliki penyesalan agar dia bisa langsung pergi.
"Firly ..." lirihku.
Aku berpaling dan menutup mataku erat, aku memukul-mukul dada berharap rasa sesak ini segera menghilang. Telingaku terus berdenging mendengar suara tangangisan Firly.
"Nashita!" teriaknya.
Aku kembali menatapnya yang sudah berjongkok di samping kakiku. Aku ikut berjongkok, menatap Firly dengan tatapan sendu.
"Firly, lo harus per-gi." Napasku tercekat.
"Lo bisa liat gue?" tanyanya.
"Iya, gue bisa liat lo," aku berbisik.
Firly terisak hebat, dia mengerang. Ini sangat menyakitkan, temanku sekarang berkurang satu. Teman yang selalu membuatku tertawa. Dia pergi untuk selamanya, tak bisa kutampikkan bahwa yang berada di depanku ini adalah arwah dan itu membuat jantungku seakan terhimpit.
***
Sekarang kita semua berada di pemakaman umum, dimana tempat peristirahatan Firly untuk terakhir kalinya di dunia ini. Aku semakin iba kepada ibunya Firly dia hancur sehancur-hancurnya. Aku ingat saat membantu kakaknya Ratih. "Kehilangan anak adalah kehilangan masa depan." Walaupun kehilangan masa lalu menyakitkan, tetapi kelenyapan masa depan seakan musibah.
Sekarang tanah itu menimbun Firly, aku juga akan sama sepertinya. Ditimbun tanah, kesepian, kegelapan, kedinginan. Aku akan mengalami hal yang sama cepat atau lambat, untuk pertama kalinya aku mengingat kematian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Galau
Ficção Adolescente[End] [Complete] #1 teenfintion 21/05/22 #3 teentlit 14/06/22 #1 Dareen 22/06/22 #1 keluarga 07/06/23 #1 ngakak 07/06/23 #1 arwah 07/06/23 #3 tertawa 08/06/23 #3 remaja 08/06/23 Nashita kesulitan menjalankan aktifitas di sekolahnya gara-gara dia bis...