29. Firlyawati Carumitra

406 54 38
                                    

Air laut menderu-deru menyeruak dalam Indra pendengaran, pasir silih berdesir tertiup angin. Rasanya tenang mendengar bahana Soga Rutan yang terkenal indah dan bersih. Saat ini tidak banyak pengunjung, tentu saja di jam seperti ini para pengunjung akan beranjak dan pulang. Berbeda dengan Firly, Ratih dan aku yang malah datang di saat senja segera muncul.

"Cantik banget, 'kan," ujar Firly tatapannya masih terpaku pada cakrawala yang sudah berwarna jingga itu.

"Iya, bener banget." Ratih membeo masih tak memalingkan tatapannya dari pemandangan pantai ini.

Aku tersenyum melihat mereka berdua, kedua temanku ini mengalami masa sulit hidupnya. Mereka pantas mendapatkan hiburan karena telah menyelesaikan masalah mereka. Mereka berdua sangat hebat, aku harap aku bisa seperti Firly dan Ratih, bertahan dalam kepahitan.

"Firly," panggilku.

Firly berdeham sebagai balasan, tatapannya tetap terpaku ke depan. Aku tertengun saat melihatnya, entah mengapa perasaan khawatir melandaku, saat ini Firly mulai membaik walaupun tubuhnya saat ini tidak segemuk dulu. Bahkan dia lebih kecil dariku.

"Lo serius, gak mau lanjut sekolah lagi?" tanyaku.

"Ya, gue gak ngelanjut sekolah lagi." Dia menatapku. "Tapi, kalau udah sembuh total, gue bakal sekolah dan belajar giat." Dia tersenyum merekah.

"Berarti kita gak bakal bareng?" tanyaku sedih.

Terlihat Ratih menatapku saat melontarkan ucapan itu, dia juga terlihat memasang wajah sedih.

"Gue, seneng lo sembuh, Ly, tapi apa kita masih bisa barengan?" Tak terasa air mataku menetes.

Firly menatapku dengan tatapan yang tak bisa di artikan, memalukan aku menangis di hadapannya. Bukankah itu menghilangkan pamorku. Ah, dasar mata ini tidak bisa diajak kompromi, kemudian aku menyusut air mata di pipi.

"Hey, kita seumuran, walaupun nanti Lo berdua udah jadi kakak kelas gue ... Kita tetap temenan, gue gak bakalan lupa sama kalian berdua ... Kalian selalu ada saat gue kesakitan, kalian buat gue semangat." Dia merangkul pundakku dan Ratih.

"Lo baik-baik aja, 'kan?" tanya Ratih.

"Sama kalian gue baik-baik aja," ungkapnya.

Mataku menetes, lagi-lagi momen melow seperti ini. Tidak tahu kalau aku sangat sensitif terhadap hal yang seperti ini.

"Eh, udahlah kita senang-senang, malah jadi melow gini!" Firly malah menggelitikku dan Ratih.

Aku dan Ratih berlari dari kejaran Firly, di sisi pantai aku berlari beriringan bersama Ratih, sedangkan Firly mengejar. Seragam kami sudah basah karena injakan kaki ke air pantai. Kita tertawa bersama, aku berharap hari ini menjadi cerita untuk masa depan dan mengulang kembali seperti saat ini.

***

Dua hari berlalu setelah bermain di Soga Rutan dengan Firly, kali ini aku berada di kantin sekolah bersama Ratih. Sekarang Ratih mulai berubah padaku, dia banyak bicara dan terbuka. Aku bersyukur ternyata aku bisa menjadi teman yang dipercaya oleh Ratih.

Saat aku akan duduk di meja kantin, tak sengaja aku berpapasan dengan kak Daris---si ketua basket yang mengatahui bahwa aku si penolong arwah. Aku menduga itu, setelah percakapan singkat setelah mengantarkan bang Andreas. Aku jadi berpikir bahwa kak Daris sama sepertiku, bisa melihat hantu.

Dia menatapku dengan seringai. "Lo masih belum bisa nolong hantu itu?" Ekor matanya menunjuk ke Gandum yang berada di belakangku.

"Lo gak cape diikutin terus?" Dia melenggang pergi dan berpapasan dengan Gandum, sesaat mereka saling pandang dan kak Daris memutus tatapan itu dengan pergi menjauh. Ini sudah jelas bahwa kak Daris bisa melihat makhluk tak kasat mata.

Di sampingku Ratih memegang tanganku, dengan tangan yang bergetar. "Nash, emangnya ada ngikutin?" Dia berbisik.

Aku menatap Ratih dan mengangguk mantap, meyakinkan Ratih bahwa hantu itu sekarang berada di dekatnya.

Ratih melotot. "Ya-ng ... Mana?" jedanya, terlihat wajahnya yang ketakutan. "Apa yang Lo ... Sebut tukang ngintip."

"Yang suka ngintip," bisikku di telinga Ratih.

Ratih terbelalak, kentara rasa takutnya. Dia memegang tengkuknya dengan bola mata melihat ke kiri dan kanan, sedangkan Gandum disebelahnya menatapku sengit.

Aku menepuk pundak Ratih. "Tenang aja Ratih, hantu itu baik gak bakal ganggu kita."

Tak lama Gandum tersenyum, mendengar jawabanku pada Ratih. Memang benar tidak ada rasa bosannya Gandum mengikutiku, padahal setelah tahu ibunya masih hidup harusnya dia sudah tenang.

Aku dan Ratih duduk di meja kantin, sekaligus menyantap roti bakar seharga lima ribuan, harga murah tapi rasanya gak murahan. Emang The best-lah roti bakar buatan mbak Iis. Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel Ratih, tak lama dia mengangkat ponselnya ke telinganya.

"Hallo, wa'alaikumus salam ..." salamnya pada orang di sebrang sana.

"A-apa?!"

Kali ini aku tertegun setelah melihat reaksi Ratih yang terlihat terkejut. Ratih kemudian, menutup telpon itu tanpa mengucap salam. Dia menatapku sengit.

"Nash! Ayo kita bolos!" ujarnya tergesah.

Aku mengernyit. "Ma-maksudnya apa? Kenapa Lo?"

"Gue serius, kita bolos!" Ratih menarik tanganku tanpa memedulikan roti bakar yang belum dia sentuh sedikit pun.

Di koridor aku terus diseret oleh Ratih dengan tergesa-gesa.

"Ratih, kenapa ada apa?" tanyaku sengit.

Ratih berhenti melangkah dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Nash ...."

"Apa kenapa?"

"Firly ... Firly meninggal, Nash."

Aku terbelalak, napas pun tercekat. Aku mematung saat itu juga jantungku berdegup dengan kencang tanpa kuminta air mata menetes deras.

"Cepet Ratih, kita gak ada waktu." Aku berlari sekencangnya ke kelas dan mengabarkan kepada teman yang lain sekaligus meminta izin bersama dengan Ratih.

Dengan jantung yang terasa berpacu, kami menaiki ojek yang menunggu di pengkolan dekat sekolah, kami berdua menaiki motor yang berbeda dan pergi ke rumah Firly. Aku benar-benar terguncang, aku harap semua yang kudengar hanyalah prank!

Setelah hampir dekat dengan rumah Firly, ternyata sudah ada banyak orang yang di sana. Tertancap sebuah bendera warna kuning, bukan bendera Partai Golkar, tetapi warna kuning polos. Aku menatap ke halaman rumah Firly, air mataku lolos saat banyak sekali orang yang mengerubungi pintu depan rumah.

"Nash, gimana dong!" Ratih terisak hebat.

Aku menatap ke pagar, terdapat sebuah ucapan bela sungkawa dari sebuah perusahaan bertuliskan 'Dharacipta crop'. Aku tidak tahu perusahaan itu, tetapi itu membuktikan bahwa benar Firly meninggal dan bukan prank.

Aku dan Ratih berlari ke rumah Firly, berdesakan dengan orang yang telah selesai melayat. Saat di ambang pintu napasku tercekat, dadaku mencelus seakan sesuatu menusuk jantung tangisku semakin kencang, kala melihat seorang yang terkujur kaku tertutupi kain putih.

Orang-orang di sekelilingnya menangis hebat, lantunan surah Yasin terus teriringi. Aku terduduk di lantai yang dingin menangis memeluk Ratih. Secepat itu Firly? Kenapa kamu pergi tanpa pamit? Ternyata benar apa kata Gandum, Firly tidak akan merasa sakit lagi.

TBC

22/06/22<3

Hantu GalauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang