31. Izinkan Mama

392 61 49
                                    

Aroma mawar menyeruak saatku memasuki mobil milik Bu Silvia, aku sekarang berada di sampingnya, di jok mobil depan. Gandum juga ikut bergabung dan menembus pintu mobil langsung duduk di jok belakang. Gandum menatapku dengan tatapan penuh harap, aku benci tatapan itu, Gandum!

"Apa maksud kamu nyebut anak saya?" tanyanya sedikit membuatku merinding, pasalnya dia seperti orang yang sinis.

"I-itu ..." Aku menunduk, lantas segera membuka buku harian milik Dareen yang selalu kubawa dalam tas.

Ibu Silvia menatap ragu pada buku bersampul hitam itu, lalu menatapku dengan alis menyatu. "Apa ini?"

"Aku menemukan ini di kamarku, Bu," ucapku sejujurnya.

Dia menerima buku harian itu dan membuka halaman pertama bacaan pribadi Gandum, entah apa yang dia baca, tetapi air mukanya menampilkan kesedihan. Aku menatap Gandum di belakang, dia menangis. Aku mengerti sepertinya dia ingin memeluk ibunya yang sudah lama tak bertemu.

"Ke-kenapa buku ini bisa ada di kamu?" tanyanya dengan air mata yang menetes.

"Mungkin, rumah yang saya tempati adalah rumah milik ibu sebelumnya dan ... Kebetulan saya menempati kamar pemilik buku itu," jelasku.

Bu Silvia mengembuskan napas berat, dengan air mata turun dengan derasnya.

"Terus, ke mana orang yang jual rumah itu?"

Aku menggeleng pelan, tidak tahu menahu tentang rumah itu. Pasalnya yang membeli rumah adalah papa dan aku tidak bisa ikut campur urusan papa, aku hanya menempati rumah itu senyaman mungkin.

"Aku tidak tahu, Bu. Papa saya yang beli rumah itu, jadi aku gak tahu apa-apa."

Bu Silvia kembali membuka kembali lembaran berikutnya di buku diary itu.

"Nash, ceritain kalau gue udah meninggal," lirih Gandum padaku.

Aku menatap jok kosong di mata orang lain, di mataku jok itu tidak kosong, Gandum masih duduk di sana. Aku merangkai kata-kataku dalam otak, berusaha untuk menyampaikan berita tanpa curiga bahwa aku bekerja sama dengan arwah.

"I-ibu, sebenarnya ada lagi yang perlu saya sampaikan," imbuhku.

Dia menatap padaku. "Apa itu?"

Aku menelan salivaku susah payah, aku masih belum bisa membuatnya menangis karena aku yakin setelah menghadiri pemakaman Firly dia yang malah berduka.

"Se-sebenarnya, aku tahu dari temanku bahwa rumah itu pernah ditemukan jasad, terus gak jauh dari sana ada kecelakaan mobil yang menewaskan satu orang."

Bu Silvia terbelalak, dia memegang pundakku. "Katakan apa yang aku tahu selain itu?"

Aku merasa bersalah karena membuatnya terguncang, aku pun ikut menangis kala melihat tetesan air mata wanita paruh baya itu semakin deras.

"Teman aku yang kebetulan dekat dengan rumah itu, katanya jasad di rumah adalah seorang anak SMA, terus yang kecelakaan mobil adalah ayah dari anak itu."

Ibu Silvia melepas pegangan tangannya, dia bersandar lemas, dia menutup wajahnya. Aku tahu dia sangat terguncang. Jantungku juga menggayuk  saat mengetahui kebenaran tentang seorang arwah yang aku sukai.

"Innalilahi wa inalilahi rajium, Apakah dia?" gumamnya.

Bu Silvia menatapku kembali seakan kabar ini saja tidak cukup, mungkin dia tidak percaya begitu saja padaku yang notabenenya orang asing.

"Kamu tahu makam mereka di mana?" tanyanya.

Aku mengangguk mantap. "Iya, aku tahu, Bu."

"Ayo, tunjukin saya jalannya."

Hantu GalauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang