17. Mantra

436 64 41
                                        

Kritik dan sarannya, yah ❤

______

"Gue minta maaf."

Jantung berdegup kencang kala mendengar suara itu, suara yang beberapa hari ini tak kudengar lagi. Aku kecewa, kenapa dia harus hantu? Aku pikir dia teman berwujud manusia. Mengapa dia tidak mengatakan yang sejujurnya.

Dia melangkah mendekat, sedangkan aku masih menunduk tidak berani menatapnya. Sekali lagi dia melangkah.

"Jangan mendekat!" teriakku diiringi isak.

"Nash," lirih Gandum.

Aku mengusap air mata di pipiku dan bangkit memberanikan diri menatap sosok yang sudah kutahu bukan manusia.

"Kenapa Lo kayak gini?" tanyaku dengan berangsang. "Kenapa Lo bohongin gue?!"

"Nash, gue bisa jelasin ...."

"Lo mau manfaatin gue, yah! Lo pura-pura jadi manusia biar Lo bisa temenan sama gue, terus temenan sama gue tujuannya apa?"

"Gue gak pura-pura jadi manusia ... Gue juga gak pernah bilang gue manusia."

Hujan tiba-tiba turun, aliran udara masuk ke pori-pori kulit membuatku sedikit kedinginan. Suasana ini cukup mendukung dengan hadirnya Gandum.

"Nash, gue minta maaf. Gue akuin gue salah ... Tapi gue arwah. Lo pasti tahu sifat arwah, tuh kayak gimana."

Tersirat perasaan iba, aku menatap Gandum sendu. Arwah mana pun pasti akan melakukan hal yang sama apalagi untuk Gandum, ini kesempatan bagus karena aku keliru menganggapnya sama seperti manusia biasa.

"Gue minta tolong sama Lo," ucapnya dengan tatapan mata yang tak bisa diartikan.

Aku menghembuskan napas, mengusap wajahku frustasi.

"Kenapa, sih Lo arwah? Kenapa Lo datang udah jadi hantu?" lirihku.

Rasa kecewa dan marah, aku akui beberapa hari ini aku terus memikirkannya bahkan merasa kehilangan saat tidak ada dirinya.

"Tapi Lo tetep jadi temen gue," ungkap Gandum.

Air mataku kembali menetes mendengar itu. Iya, memang itu keinginanku memiliki teman, tetapi bukan bersama arwah. Tidak bisa ditepis bahwa suatu hari nanti Gandum pasti akan pergi dengan abadi dan aku tidak mau ada perpisahan seperti itu.

"Lo bisa, 'kan bantu gue?" tanya Gandum lagi.

"Kenapa Lo minta tolong ke gue, Lo bisa 'kan minta ke orang lain!"

"Gak ada orang lain di sini yang bisa liat gue selain Lo," tutur Gandum. "Untuk pertama kalinya, setelah beberapa tahun gue punya temen."

"Terus ini apa maksudnya?" Aku menunjukkan buku harian miliknya yang ternyata bernama asli Dareen Rasyadi.

Dia menatap buku harian itu, lalu menatapku. "Iya, itu punya gue."

"Te-terus, kenapa ini ada di kamar gue?" tanyaku lagi.

Terlihat Gandum mengembuskan napas berat. "Karena rumah yang Lo tempati itu, bekas rumah gue."

Seakan petir di luar menyambar, aku tersentak. Seketika seluruh tubuh merinding, aku merasakan takut. Mungkin itu sebabnya waktu itu Gandum ada di rumah dalam sekejap hilang begitu saja dan dia bergentayangan di rumah itu.

"Gak mungkin." Aku menggeleng.

"Itu bener, Nash." Gandum menekan ucapannya.

Aku baru sadar, jaket yang pertama kali kutemukan di kolong meja rias waktu itu ternyata milik Gandum, sama persis seperti yang dia pakai sekarang dan terdapat noda yang sudah mengering itu jelas adalah darah, darah itu lumayan banyak di bagian lehernya. Aku tambah merinding ketika ingat pernah memakai jaket itu.

Hantu GalauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang