32. Perpisahan atau Pertemuan? (End)

570 64 60
                                    

Malam ini begitu meriah, para tetangga dan seluruh kompleks kenanga saling bersenang-senang, mereka merayakan sebuah hajatan desa dan kepala desa baru. Keluargaku juga sama mereka tidak ada di rumah, ikut makan bersama di rumah tetangga sebelah. Alih-alih ikut bersenang senang, aku malah merenung menatap arwah yang akan segera pergi, hatiku mengelus kala Gandum sama sekali tidak mau menghabiskan waktu denganku.

Aku menatapnya penuh kekecewaan, setidaknya sehari saja menghabiskan waktu bersama dan berpisah dengan baik. Dia malah menatapku dengan tatapan yang sama sekali tidak kumengerti.

"Lo serius mau pergi? Sekarang?" lirihku dengan napas tercekat.

"Maafin gue." Dia menunduk, tak lama menatapku lagi. "Makasih udah bantu gue, lo berjasa banget. Gue gak tahu, apa gue bisa balas Budi ke lo atau enggak, tapi gue bersyukur bisa mengenal lo."

"Kenapa lo gak ngerti, sih?" Air mataku menetes serta dengan isakan kecil. Mungkin tidak ada yang mendengar karena kita berada di halaman yang kini menjadi taman kak Nashrul. Cukup kagum dengan karyanya ini banyak bunga yang cantik, indah dipandang mata.

"Gue gak mau lo pergi!" sambungku penuh penekanan.

Dari jarak tiga langkah, terlihat bulir air mata menetes ke pipinya. Entah mengapa aku merasa kita berdua dalam keadaan yang sama, aku berharap Gandum tidak pergi! Salahku karena mau membantunya, kenapa resikonya harus seperti ini? Ya, aku menyesal.

"Gue tahu perasaan lo dan ... Perasaan kita sama." Dia menghela napas. "Ternyata suka sama lo termasuk kejahatan, gue gak bisa pertahanin perasaan ini ... Itu berbahaya buat lo."

Mataku sampai bengkak karena seharian menangis. Namun, sampai detik ini bulir bening di mataku masih saja tak mau habis seiring dengan rasa sesak di dada.

"Tapi, setidaknya lo ada didekat gue, lo jangan pergi ... Lo harus selamanya ada sampai gue meninggal!"

Gandum menggeleng dengan senyuman pahit. "Itu lebih bahaya, Nash. Perjalanan lo masih panjang, suatu hari nanti lo bakal memulai hidup baru, lo nikah sama cowok yang lo suka, sedangkan gue yang selalu dampingin lo pasti gak akan rela, gue bakal ngelakuin apa pun supaya lo gak bakal bersatu sama suami lo, bisa aja gue sampe membunuh ... Dan lama kelamaan gue jadi roh jahat. gue gak mau itu terjadi."

Aku terduduk lemas di rumput taman kak Nashrul, mungkin tepatnya bekas Gandum meregang nyawa, tempat yang menyeramkan bagi Gandum saksi bisu kejadian buntung yang menimpanya.

"Kenapa kayak gini, sih? Kalau gak seumur hidup setidaknya sampai gue bisa dapet gelar sarjana, lo jangan pergi, yah," ujarku memohon.

Gandum mendekat dan berjongkok agar tingginya sejajar denganku. "Maaf, gue gak bisa. Nash, sekali lagi lo harus ikhlas, gue yakin ini berat ... Lo harus yakin bahwa gue ada di dekat lo, gue selalu ada di hati lo."

Gandum menampilkan telapak tangannya kehadapanku, seakan dia mengajakku untuk berpegangan tangan. Dia tersenyum seakan tanpa beban. Dulu aku selalu menolak uluran tangannya dengan beralasan bukan mahram, tetapi bersama Gandum bukan itu, kita memang tidak akan pernah bisa saling menautkan jari jemari kita.

Aku membalas uluran tangannya, walaupun tahu bahwa tidak ada yang kugenggam hanya terasa udara masuk ke pori-pori kulitku. Terlihat secercah menyilaukan mata, sinar ini semakin silau sebab mungkin Gandum pergi pada malam hari.

Aku terisak kala Gandum berdiri. Namun, aku masih terduduk. "Dareen!" Tanganku ikut terangkat saat dia mundur.

"Nash, gue suka sama lo." Dia tersenyum. "Sekolah yang rajin, jaga kesehatan lo. Semangat gapai cita-cita, lo bakal ketemu sama orang yang sama kayak gue, jadi jangan putus asa." Dia melambai tangan dengan bahagia.

Aku tersenyum teriring air mata yang semakin menderas, aku juga bersyukur bisa mengenal dia. Dia sudah memberikan perubahan padaku, dia memberi sebuah pelajaran yang berharga dalam hidupku.

"Makasih Dareen ... Se-selamat jalan!" Tanganku yang masih terangkat kini melambai kepada Gandum.

Gandum menyusut air di pipinya. "Iya, selamat tinggal!" Lambaian tangannya semakin bersemangat.

Hingga cahaya itu semakin silau dan menelan tubuh Gandum hingga tak terlihat lagi, kala cahaya itu pergi seketika kembang api menyala di langit, anak-anak tertawa saat kembang api itu buyar menampilkan pemandangan yang indah. Hujan rintik-rintik turun mengenai tanganku yang masih terangkat.  Sesak di dada belum juga menghilang. Mengapa semua orang bahagia, sedangkan aku berduka di sini!

Tanganku turun perlahan hingga menyentuh rumput halus. Perasaanku lega dan kecewa secara bersamaan, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa? Aku telah kehilangan teman dan teman arwah di hari yang sama.

Aku harus bisa mengikhlaskan. Ya, aku ikhlas karena aku membantu mereka.

***

Tiga tahun kemudian ...

Aku melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Faraz, jurusan PAI. Aku akan mengikuti jejak papa, dia juga dosen yang masih mengajar di sana. Aku jadi tahu cara papa mengajar, walaupun aku anaknya papa, dia malah semakin banyak merepotkanku alih-alih diberi keringanan tugas. Dia tidak membedakan dalam pengajarannya, dia memperlakukanku layaknya pelajar saat di sekolah.

Mamaku, dari dulu dia adalah seorang guru mengajar Sosiologi di SMA. Keluargaku beragam mereka ahli dalam bidang yang berbeda-beda. Mama selalu suka tentang hal politik dan sosial, papa lebih religius dia taat agama, sedangkan kak Nashrul dia beda dari yang lain, malah masuk ke jurusan animator. Dia jago dalam seni. Aku bersyukur, anak sepertiku yang tidak memiliki bakat apa pun, bisa memilih bidang yang dimiliki keluargaku mengingat jika aku memilih salah satu bidang dari mereka, aku bisa mendapat bimbingan.

Pada akhirnya aku memilih papa, di bidang keagamaan. Walaupun aku bukan lulusan pesantren, aku sudah menyantri di rumah dengan papa sebagai guruku. Ya, sulit bagiku untuk menghafal, tetapi aku semakin percaya diri saat nilai ujian Al-Quran dan Hadits sangat sempurna.

Kak Nashrul akhirnya akan menikah, sesuai keinginanku, dia akan menikah dengan kak Arunika. Aku ikut bahagia dengan mereka, ternyata ucapanku terkabul juga. Sekarang kak Arunika berhijab dan pakaiannya lebih tertutup. Ya, Mungkin kak Arunika tahu bahwa papa ingin agar anak/menantunya bisa menjaga auratnya. Aku harap tidak ada paksaan untuk itu.

Sepulang kampus, aku menyempatkan diri ke makam Gandum. Sudah bertahun-tahun lalu aku masih belum melupakannya, setiap satu tahun sekali aku akan berziarah ke makam Gandum. aku juga sering melihat-lihat ruangan rahasia Gandum. Banyak yang aku temui di sana dan aku akan menjaganya dengan baik.

Aku mencium bau harum bunga kenanga, saat mendekati makam Gandum langkahku terhenti. Netraku bertabrakan dengan seorang lelaki dewasa berpakaian kaus hitam polos dengan tas yang ia sampirkan di pundak kanannya, aku mematung saat kutahu wajahnya familiar di mataku. Apakah aku melihat hantu? Apakah di dunia ini ada reinkarnasi?

"Ga-gandum!" Aku menunjuk pria yang mungkin seumuran kak Nashrul.

Lelaki itu menatapku dengan kerut di dahinya, dia menatapku sengit seakan aku mengucap hal yang salah.

"Kenapa lo tahu nama gue?"

.
.
.
.

Tamat




28/06/22<3

Hantu GalauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang