Tanganku masih menggenggam, sejumput jukut. Aku menatap datar pada gundukan tanah yang terdapat sebuah tulisan Dareen Rasyadi Bin Rasyadi Mahardika. Dia bahkan meninggal pada usia 16 tahun, semuda itu?
Tak terasa air mataku menetes juga, aku anak yang gampang sekali menangis. Mungkin karena aku tidak terbiasa tersakiti, aku adalah anak yang bahagia. Yang bahkan menangisi hal yang tak seharusnya kutangisi.
Aku menghela napas. "Lo gak marah meninggal di usia semuda ini?" Masih menangis. "Gue gak pernah ngebayangin kalau gue bakal mati saat ini."
"Kenapa Lo datang ke gue udah jadi hantu?" Aku terisak.
Gandum juga nampak muram, sepertinya dia pun meratapi kematiannya sendiri. Dia berdiri di sisi makamnya dan berhadapan denganku, aku juga sedikit terganggu dengan penghuni makam di sini. Memang seharusnya aku tidak datang di saat petang akan datang, tetapi aku bersama Gandum. Aku yakin dia akan menjagaku.
"Tapi gue bersyukur, kalau gue gak jadi arwah mungkin gue gak bakal ketemu dan mengenal lo," ungkapnya.
Aku menyeka ingusku. "Tapi gue gak suka Lo datang ke gue kayak gini?"
Tidak ada percakapan lagi, hanya suara isakanku di makan yang sepi ini. Aku kecewa dan marah, aku sudah menerima bahwa Dareen adalah temanku, tetapi aku belum menerima kalau dia adalah hantu.
***
"Nashrul! Kucingnya nyakar gamis Mama, nanti robek Lo, hus ... Hus!"
"Ya, bentar ma! Lagi buang eeknya."
"Masa iya buang eeknya kucing di wastafel, 'kan ini dapur!"
"Aduh! Sakit Ma!"
Terdengar cekcok dari arah dapur entah apa yang mereka perdebatkan hingga seramai itu, sampai suara kucing juga menjadi dominasi. Aku tidak tertarik bergabung, mood-ku sedang tidak baik, lantas aku berjalan ke lantai atas kebetulan aku berpapasan dengan papa.
"Heh, baru pulang?" tanya papa.
Aku hanya memasang wajah cemberut, bahkan tidak menjawab pertanyaan dari papa. Aku juga malas untuk menggunakan suara emasku, bibir juga sepertinya ayal untuk bergerak, kemudian membuka pintu kamar dan menutupnya, aku langsung merebahkan tubuh.
Mataku terpejam, tetapi kembali bangun karena mendengar suara pintu yang terbuka, terlihat seorang pria berumur 40-an berdiri di ambang pintu kamarku dengan wajah menatap sendu. Dia papa, berjalan menghampiri dan duduk di sisi ranjang.
"Kamu kenapa?" tanya papa dengan lembut.
Aku menggeleng. "Aku gak apa-apa."
"Cerita sama papa." Dia mengusap kepalaku yang masih tertutupi khimar sekolah.
Aku masih belum menjawab, aku juga bingung kenapa bisa sesedih ini? Masih belum menerima kenyataan.
"Papa."
Papa hanya berdeham sebagai balasan.
"Papa pernah gak? Gak ikhlas sama kenyataan?" tanyaku.
Terlihat papa menghembuskan napas. "Pernah papa juga pernah kecewa sama keadaan."
"Terus gimana?"
"Nashita, kita manusia bisa merasakan kecewa atas keadaan, kamu pasti lelah dengan keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan, tapi ... Walau begitu Allah selalu memberikan hikmah di balik itu semua, Allah pasti akan memberikan yang terbaik untukmu.
"Tidak semua hal yang kita inginkan di dunia bisa kita dapatkan, tapi percayalah pasti ada sesuatu yang besar kita miliki. Terima dan ikhlas Nashita." Dia masih tetap mengusap lembut punggungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Galau
Teen Fiction[End] [Complete] #1 teenfintion 21/05/22 #3 teentlit 14/06/22 #1 Dareen 22/06/22 #1 keluarga 07/06/23 #1 ngakak 07/06/23 #1 arwah 07/06/23 #3 tertawa 08/06/23 #3 remaja 08/06/23 Nashita kesulitan menjalankan aktifitas di sekolahnya gara-gara dia bis...