Ablaze 01 - After The Fire

9.9K 778 97
                                    

Aroma bunga bermekaran dan rumput basah merasuk ke  dalam hidung Alicia. Suasana musim semi yang seharusnya indah karena menandakan kelahiran yang baru justru terasa begitu suram baginya. Dia berdiri di tepi danau yang sepi.

Seluruh pakaiannya hitam sehingga kulitnya yang pucat tampak lebih terang. Angin menerbangkan kelopak-kelopak kecil bunga sakura dan jatuh ke bahu dan rambutnya yang telah dipotong pendek.

Seorang wanita tua lewat dan menyapanya dengan ucapan selamat pagi dalam bahasa Jepang yang fasih.

Alicia tersenyum. “Selamat pagi,” sahutnya dengan bahasa yang sama.

Setelah wanita tua itu lewat, Alicia kembali seorang diri di tepi danau itu, menatap ke kejauhan.

Hari ini, adalah tepat lima bulan setelah insiden kebakaran itu. Kematian Lucius Denovan telah diumumkan di mana-mana, bahkan namanya juga tertulis di koran-koran yang Alicia temui di meja makan keluarga Lucero setiap pagi, tertulis seperti obituarium dan terkadang berbentuk wacana berita dengan judul yang terkesan kontraversi.
Saat pertama kali Alicia melihat berita kematian pria itu, dia bisa melihat senyuman puas Alarick Lucero dan tatapan penuh kemenangan dari anak buahnya. Di samping itu, Alicia juga melihat pandangan kosong ibunya, dan ketenangan Adrian Lucero yang seolah tidak peduli dengan dunia di sekitarnya.

Sementara Alicia, saat itu juga, merasakan seolah jiwanya juga direnggut keluar dari dirinya.
Lucius sudah tidak ada. Pria itu mati. Bahkan tubuhnya sudah tidak bisa diidentifikasikan karena luka bakarnya yang terlalu parah, hanya sebuah cincin berwarna hitam yang selalu pria itu kenakan di jarinya lah yang menjadi tanda bahwa itu memang dia.

Dan itu memang dia.

Alicia berusaha dengan keras untuk meyakinkan dirinya sendiri akan hal itu, agar dia tidak terlalu berharap lagi, agar dia bisa sedikit merelakan kepergian pria itu dengan lebih baik.

Namun nyatanya, dia tidak bisa.

Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Lucius sudah tidak ada. Itu terlalu menyakitkan bagi Alicia.

“Nona, sudah waktunya untuk kembali,” kata sebuah suara di belakangnya.

Alicia menoleh sekilas, lalu mengangguk patuh. Dia kemudian berjalan dengan hati-hati menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan. Kelopak-kelopak bunga berguguran nyaris memenuhi tanah dan aspal. Waktu untuk bersantai sudah berakhir, kini Alicia diharuskan kembali ke rumah itu lagi, rumah yang terasa seperti neraka baginya.

Sejak kebakaran itu, Alicia dibawa pergi oleh Alarick ke Jepang, tinggal di sebuah rumah terpencil yang jauh dari hiru pikuk kota yang padat. Di sana, mereka tinggal bak keluarga utuh yang harmonis. Namun Alicia tahu lebih baik bahwa itu semua hanyalah tipuan.

Alicia tidak tahu apa tujuan Alarick sebenarnya. Dia sudah mencoba mencari tahu, namun selalu berakhir dengan tidak baik. Itu membuat Alicia bertanya-tanya kenapa Alarick tidak juga sekalian meledakkannya dalam kebakaran dan juga bom yang dia buat lima bulan lalu. Kenapa dia malah membawa Alicia pergi?

Bagi Alicia, dia lebih baik mati bersama seseorang yang dia cintai, daripada harus hidup mengetahui bahwa orang tersebut tidak bersamanya.
“Nona, kita sudah sampai.”

Alicia tidak bereksi apa pun sampai sopir membukakannya pintu. Saat di luar, Alicia menoleh ke arah taman dan melihat Marie, ibunya, bersama Adrian tengah bermain. Marie duduk di sebuah bangku, mengenakan gaun putih yang cantik. Sosoknya dari belakang tampak begitu kecil dan rapuh.

Sesuatu telah berubah, kemungkinan besar adalah perasaan Marie pada Alarick. Sejak dulu, Alicia selalu berpikir bahwa wanita itu sangat mencintai suaminya, sehingga dia mau melakukan apa pun untuk pria itu. Namun kini tampaknya tidak seperti itu. Marie tampak tidak sehat, baik fisik mau pun psikisnya. Alarick memang seorang diktator yang akan melakukan apa pun yang dia mau dan kepada siapa pun, tidak terkecuali istri dan anaknya.
Alicia merasa iba ketika melihat ke arah Adrian. Anak itu harus tumbuh menjadi keturunan seorang Alarick Lucero, dituntut melakukan banyak hal dengan keras oleh ayahnya sendiri, jelas bukan sesuatu yang menyenangkan untuk seorang anak delapan tahun sepertinya. Alicia khawatir bagaimana adiknya itu akan tumbuh.

Tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk mengasihani tentang orang lain. Karena hidupnya sendiri juga tidak jauh lebih baik.

Dia lantas mengalihkan pandang dan langsung masuk ke dalam rumah.

Tidak Alicia sangka. Di ruang tamu, Alarick tengah duduk sembari menyesap secangkir teh dengan khidmat.

Dulu, dia selalu melihat pria ini sebagai ayah yang teladan dan penuh penyayang, tapi sekarang dia hanya melihat seorang monster yang balik menatapnya tajam dan licik.

“Putriku, kemarilah!” Alarick memanggilnya.
Alicia sangat benci saat pria itu menyebutnya ‘Putriku’, karena dia sudah menjelaskan dengan sangat jelas kepada Alicia bahwa Alicia bukanlah putrinya. Dan sekarang, Alicia tidak sudi menganggap pria ini sebagai ayahnya.

Namun Alicia memaksakan diri. “Ya, Ayah?” sahutnya.

Alarick tersenyum saat Alicia duduk di hadapannya, di atas sebuah bantalan empuk di lantai.

“Kau menikmati waktumu di danau hari ini?” tanya Alarick.

Alicia mengangguk. Semakin hari, dia merasa semakin kagum akan sandiwara Alarick yang begitu tanpa cela. Pantas dulu dia sangat mempercayai pria ini, andai dia tidak tahu kenyataannya sampai sekarang pun mungkin dia akan masih mematuhi apa pun yang pria ini katakan karena perasaan sayangnya yang sudah terlalu mendarah daging.

“Ya, Ayah,” jawab Alicia singkat.

“Aku yakin demikian.” Alarick mengulurkan tangan, mengambil kelopak bunga sakura yang menyangkut di rambut Alicia.

Alicia tidak bergeming, atau menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya.

“Besok, kau akan bertemu dengan seseorang,” kata Alarick.

Alicia tidak merasa perlu untuk bertanya seseorang yang Alarick maksud itu siapa, dia hanya mengangguk dan mengucapkan, “Ya.”

“Kau harus bersikap baik, Alicia.”

“Aku mengerti.”

“Jangan katakan apa pun yang tidak ingin kau sesali setelahnya. Lebih baik kau diam dan patuhi ucapanku dengan baik.”

“Ya.”

“Hm. Baguslah.”

“….”

Keheningan yang terjadi setelahnya membuat Alicia ingin cepat-cepat pergi dari sana. Dia tidak tahan kalau harus semenit lebih lama berada di tempat yang sama dengan pria di hadapannya ini.

“Kau boleh pergi,” kata Alarick kemudian.

Alicia bangun, membungkuk sedikit lalu berbalik.
Namun, sebelum dia benar-benar berlalu dari ruang tamu itu, Alarick memanggil namanya.

“Ada apa, Ayah?” sahut Alicia.

“Aku harap kau tidak mengacaukan pertemuan yang satu ini,” kata Alarick. Dia menyesap tehnya dengan khidmat dan berkata tanpa menatap ke arah Alicia lagi, “Tidak mudah menemukan seorang pria yang mau menikahi wanita yang telah dinodai oleh pria lain sepertimu."

"...!" Alicia terhenyak.

Dinodai?

Pandangannya sontak terarah ke perut.
Ya, Alicia hamil.

Namun dadanya terasa begitu sesak oleh rasa sakit ketika kenyataan menamparnya, bahwa bayinya akan lahir tanpa seorang ayah.

Karena tidak ada lagi yang ingin Alicia dengar dari pria yang mengaku sebagai ayahnya itu, Alicia pun segera melanjutkan langkahnya yang tertunda, pergi sejauh mungkin dari pria itu—kalau bisa.

***

LIVING WITH THE DEVILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang