Chapter 4 - Surrender.

38.5K 2.6K 82
                                    

Lucius menepati janjinya. Selama hampir tiga hari, Alicia tidak diberi makan atau minuman sedikitpun. Para pelayan yang masuk ke kamarnya setiap pagi hanya membantu Alicia mandi dan berpakaian serta membersihkan kamar.

Pagi ini Alicia sangat berharap bahwa mereka membawakannya makanan, namun tidak satupun dari mereka membuka mulut ketika Alicia meminta agar kamarnya tidak dikunci supaya dia bisa lebih leluasa pergi ke dapur.

Permintaannya tidak dituruti. Alicia tidak memiliki tenaga, badannya lemas, dan keringat dingin terus saja bercucuran dari pelipisnya karena rasa sakit yang ia rasakan di perutnya yang seolah dililit. Hampir sehari semalam, Alicia hanya terbaring di ranjang, menitikkan air mata akibat kekeras kepalaannya.

Lucius adalah tipe orang yang seharusnya Alicia hindari. Dia berbahaya, Alicia tahu. Bahkan ketika di desa, bibi Jen selalu mengingatkannya bahwa akan ada seseorang yang akan datang menjemput Alicia.

Dulu ia pikir, seseorang itu adalah kedua orangtuanya, namun dengan cara bibi Jen bercerita, akan bagaimana kejamnya seseorang itu, Alicia sadar bukan orangtuanya yang dimaksud oleh bibi Jen.

Pria itu akan menyiksa keluarganya jika Alicia melawan. Dan keluarga yang dimaksud pria itu, juga keluarganya yang di desa. Alicia ingin kembali ke sana, berkebun bersama bibi Jen, atau melakukan hal-hal menyenangkan bersama Wendy.

Alicia juga sangat merindukan kedua orangtuanya, harapannya semenjak mereka pergi adalah bertemu kembali. Namun semua itu kini telah sirna. Dia menatap lembaran foto kedua orangtuanya yang diambil dari jauh, air mata Alicia mengalir kembali. Apa kabar mereka sekarang? Di foto itu, keduanya tampak bahagia, bersama seorang anak laki-laki yang Alicia tidak tahu siapa. Semoga saja, sampai saat ini mereka masih dilingkupi kebahagiaan.

Siang berganti malam dengan begitu cepat. Alicia merasakan sekujur tubuhnya menggigil karena dingin. Dia menarik selimut semakin tinggi sampai hanya mata dan rambutnya yang tampak.

Tubuh Alicia terasa remuk. Lemas dan sakit. Dia mengkerut seperti bola di dalam selimutnya, mencoba mencari kehangatan yang nihil. Kepalanya pun tidak kalah sakitnya, seolah-olah terdapat palu besar yang memukul-mukul otaknya.

Apakah aku harus menyerah? Pikir Alicia. Haruskah dia menyeret dirinya untuk menemui Lucius dan meminta ampunan pada pria itu?

Tapi, Alicia tidak merasa bersalah. Kekeras kepalaannya kembali, dan dia berjanji tidak akan meminta ampunan apapun pada pria kejam itu. Alicia akan menahan semua ini lebih lama lagi. Dengan meminum air keran di kamar mandi setiap hari pasti sudah cukup baginya untuk membuka pintu ke dapur dan mengambil makanan yang layak.

Suara decitan pintu yang terbuka sama sekali tidak didengar Alicia. Namun cahaya yang masuk dari luar ke dalam kamarnya yang gelap gulita, Alicia sadari. Siluet tinggi seorang lelaki berdiri di ambang pintu.

Tubuh Alicia semakin menggigil. Mau apa pria iblis itu ke sini?!

Mungkin hampir satu menit dalam keheningan, sampai kemudian pintu kamar Alicia kembali tertutup. Alicia bernapas lega dan kembali menutup matanya yang terasa berat. Posisinya saat ini adalah membelakangi pintu, jadi dia sama sekali tidak melihat apapun. Bahkan untuk mengganti posisi saja dia tidak bisa.

Alicia ragu bahwa dirinya akan bertahan hidup sampai besok. Tapi dia berdoa pada Tuhan agar itu tidak terjadi. Alicia tidak ingin mati di tangan pria itu. Alicia tidak ingin menjadi lemah, dia harus melawan, berjuang dulu, bukannya mati dan menyerah pada nasib.

Mata Alicia yang semula terpejam kembali terbuka perlahan. Dia mengerjap beberapa kali karena pandangannya masih kabur, butuh beberapa detik untuknya bisa fokus karena rasa pusing di kepalanya.

LIVING WITH THE DEVILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang