Chapter 21 - First Terror (b)

23.6K 1.8K 35
                                    

Sepanjang perjalanan, Fio begitu panik dan terus-terusan menangis. Sedangkan Alicia justru sibuk memikirkan alasan di balik kejadian hari ini. setelah mereka sampai di rumah, Fio langsung ke luar dan berlari ke belakang menuju kamar pelayan.

"Miss, Anda baik-baik saja?" tanya Ben.

Alicia mengangguk dan tersenyum pada Ben. "Aku baik-baik saja, Ben."

Ben mengangguk. "Kalau begitu, sebaiknya Anda cepat masuk ke dalam dan mengobati tangan Anda."

Alicia melirik telapak tangannya yang memang terluka akibat bergesekan dengan jalanan. "Akan kulakukan," kata Alicia. "Terima kasih sudah menyelamatkan kami, Ben," lanjutnya.

"Itulah tugasku," sahut Ben kemudian dia pergi dari hadapan Alicia membawa mobil menuju garasi.

Alicia masuk ke dalam mansion dan terkejut melihat para pelayan berlalu lalang di ruang tamu tampak sibuk bersih-bersih. Suara Maloma di dekat tangga yang memerintahkan ini dan itu terdengar sampai tempat Alicia. Keadaan ini tidak biasanya Alicia temui. Biasanya mereka akan mengerjakan tugas-tugas mereka dengan tenang dan tidak mencolok.

"Maloma, ada apa?" tanya Alicia ketika menghampiri Maloma.

"Ah, Miss Alicia, maafkan aku tidak melihat Anda datang."

"Tidak apa-apa. Ada apa ini?" tanya Alicia lagi.

"Kami baru saja kedatangan tamu yang tidak diundang."

Alicia menatap Maloma penuh tanya. "Tamu tidak diundang? Siapa?"

Tapi Maloma tidak menjawab.

"Bukan siapa-siapa, Miss. Sebaiknya Anda pergi ke kamar dan membersihkan diri, beberapa saat lagi makan malam akan disajikan."

Alicia ingin bertanya lebih, tapi dia tahu Maloma tidak akan menjawab banyak, jadi Alicia pun menurut dan masuk ke kamarnya. Beberapa pelayan ke luar dari kamarnya. Dan tanpa menoleh pada Alicia, mereka pergi begitu saja dengan langkah tergesa-gesa, membuat Alicia semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya tengah terjadi.

***

Alicia duduk di pinggir ranjang, menatap bentangan gaun berwarna putih di atas seprainya, dan tukseo putih yan terlipat rapi di samping gaun itu. Alicia tidak tahu akan dia kemanakan pakaian ini. Tapi melihat bagaimana cara Lucius menghabiskan banyak uang untuk mengisi closetnya, membuat Alicia berpikri bahwa sepertinya tidak apa meninggalkan yang satu ini teronggok tidak terpakai bersama pakaiannya yang lain.

Tapi gaun ini begitu indah.

Alicia meraba pelan renda di bagian dada, membayangkan dirinya mengenakan gaun indah itu. Dengan suasana pedesaan yang segar, Bibi Jen dan Wendy menghias kebun belakang rumah mereka dengan mawar putih dan kayu-kayu yang didapatkan Paman Filbert di hutan akan disulat menjadi meja dan kursi. Dan Alicia membayangkan dirinya melangkah di atas karpet putih yang membentang panjang, ditaburi kelopak bunga mawar segar. Di hadapannya, seorang pria berdiri mengenakan tuksedo putih, melipat tangan di depan dan tersenyum pada Alicia.

Tuan Lucius...

Alicia langsung membuyarkan lamunannya dan bangkit berdiri. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan ketidakpercayaan pada apa yang baru saja dipikirkannya. "Kau bodoh, Alicia!" makinya pada diri sendiri. Dia lantas meraih gaun putih itu serta tuksedonya, lalu melemparnya asal ke keranjang di closet.

Maloma datang beberapa saat kemudian untuk mengingatkan Alicia bahwa makan malam telah siap.

"Aku akan segera turun, Maloma, terima kasih," balas Alicia sambil tersenyum menenangkan.

Setelah Maloma pergi, Alicia ke luar kamar dengan langkah lesu. Ketika sampai di persimpangan menuju tangga dan sayap barat, dia mendengar suara erangan keras seorang pria. Langkah Alicia pun langsung terhenti, bersamaan dengan suara debaman yang keras.

Lucius adalah satu-satunya hal yang dipikirkan Alicia saat melangkah dengan tergesa ke ruang kerja pria itu. Namun langkah Alicia terhenti di depan daun pintu ketika mendengar suara rintihan pelan dan suara seorang pria yang menggumam lemah. Alicia tidak mengenali suara itu. Maka pasti dugaannya salah.

***

Lucius nyaris mengetahui segala hal yang terjadi di rumahnya, termasuk pegawai-pegawainya yang bermuka dua. Tapi tiga pria ini telah bermain dengan begitu hati-hati sehingga Lucius terlambat menyadarinya.

Seorang penyusup masuk ke dalam kediamannya yang telah dijaga ketat, bagaimana itu mungkin kalau bukan karena kerja sama orang dalam? Anak buah Lucius yang dia percaya telah mengejar penyusup itu yang sayangnya berhasil kabur dan menghilang di hutan. Dan sekarang Lucius memerintahkan mereka untuk melakukan patroli ke daerah hutan yang cukup luas. Para anak buahnya cukup terlatih untuk melakukan semua itu. Kecuali yang tiga ini.

Lucius menendang dada dari salah satu pengkhianat itu yang tersungkur di lantai di dekat kakinya, setelah sebelumnya membanting yang satunya lagi ke atas meja, dan membiarkan yang ketiga tidak sadarkan diri. Lucius merasa tidak perlu menyebut nama mereka satu persatu, dia merasa hal itu terlalu terhormat untuk dilakukan.

"A-ampuni aku... Tuan..." pria di bawah kakinya memohon, dan dengan memalukannya juga menangis tersedu-sedu. Dia tentu sudah tahu nasib apa yang akan menunggunya di depan.

Lucius memandangnya jijik. Dia menarik kerah pria itu, memukul wajahnya sampai darah mengucur keluar dari hidung yang bengkok, lalu Lucius melemparnya dan tubuh lemah itu terbanting ke dekat pintu. Lucius berjalan mondar-mandir dengan kemarahan yang masih memuncak.

"Pintu itu terkunci," desis Lucius ketika anak buahnya yang berkhianat itu merangkak ke pintu namun terhenti karena ucapan Lucius. Dia kembali tersungkur ke lantai dan pasrah.

Tepat saat itu juga, pintu terbuka. Wajah Alicia melongok masuk ke dalam kemudian diikuti tubuhnya yang langsung membeku ketika mata bulatnya mengamati ruangan Lucius dan dia melihat nasib tiga pria itu secara bersamaan, Alicia membelalak dan membekap mulutnya menahan pekikan.

Lucius menghela napas. Dia seharusnya benar-benar mengunci pintu itu tadi. Para pelayan memang telah diperintahkan untuk tidak mengganggunya, tapi dia lupa dengan kehadiran satu orang lagi, si pengacau pikirannya ini.

"Apa yang kau lakukan di sini, Alice?" Lucius bertanya dengan nada dingin yang terkesan gelap.

Mata hijau gadis itu langsung tertuju padanya dengan kengerian yang terpancar dengan jelas.

Alicia hendak menjawab, tapi pria yang semula tengkurap di lantai tiba-tiba bangun dan merangkak ke bawah kaki Alicia. Alicia bergidik ngeri melihat wajah pria itu yang babak belur dan berdarah-darah. Alicia tanpa sadar mundur selangkah.

"No-na... t-tolong! Ayahmu te-telah m-menunggu...!" tiba-tiba tubuh pria itu melayang dan terbentur mengenai dinding, suara retakan yang terdengar membuat ngolu, kemudian pria itu tidak sadarkan diri lagi.

Tubuh Alicia bergetar melihat kengerian yang baru saja terjadi. Dia menatap Lucius dengan ekspresi takut di wajahnya. Lucius melangkah mendekat, Alicia mundur untuk kemudian terperangkap di daun pintu.

"Sekali lagi kutanya, apa yang kau lakukan di sini, Alice?"

Alicia menatap mata merah itu yang berkilat-kilat marah, tatapan asing yang tidak pernah Alicia jumpai sebelumnya. Dia lantas menunduk takut sekaligus benci karena merasa begitu terperdaya dan lemah. Alicia kemudian tidak sengaja melihat noda merah di kemeja putih Lucius, lalu tangannya... darah menetes-netes di buku jarinya. Alicia tahu itu sama sekali bukan darah Lucius dan Alicia semakin ketakutan.

"Keluar dari sini!" perintah Lucius dingin.

Napas Alicia nyaris tercekik. Pikirannya memerintahkan untuk lari. Maka Alicia pun berbalik, membuka pintu dan lari terbirit-birit ke luar.

•●tbc●•

Nah loh! Hihiii... 😆
Sampe sini, gimana menurut kalian IGNITE? Masih mau lanjut?

ASIA, ❤.
[24/04/20]

LIVING WITH THE DEVILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang