Ablaze 34 -Rain Cold

6.5K 551 4
                                    

Lucius tidak menjawab pertanyaannya, sehingga Alicia bertanya lagi. "Lucius, kenapa Adrian tidak bersama dengan Mama? Kenapa ...." Napas Alicia kemudian tercekat saat sebuah pemahaman menelusup masuk ke benaknya. Tubuh Alicia menjadi limbung, tapi Lucius dengan sigap menopangnya.

Tanpa mengatakan apa pun, Lucius menuntun Alicia mendekati batu nisan dengan gundukan tanah yang masih baru itu. Mereka berdiri di samping Adrian yang memiliki tatapan kosong di matanya. Alicia lalu membaca sederet nama di batu nisan itu.

"Ti-tidak mungkin!" Mata Alicia mulai berkaca-kaca, dan sebelum tangisnya menjadi histeris, dia menutup mulutnya dan menatap kuburan itu dengan tatapan tidak percaya.

Yang terbaring di sana adalah ibunya, Marie Lucero.

"Mama," lirih Alicia, lalu menangis tanpa suara di pelukan Lucius.

Sudah sangat lama Alicia tidak memanggil wanita itu dengan sebutan Mama. Sekalipun tahu bahwa Marie Lucero bukanlah ibu kandungnya, tapi sampai kapan pun, bagi Alicia dia tetap adalah ibunya. Tidak peduli apa yang Marie lakukan setelah itu, tapi kenangan yang dulu mereka miliki tidak mungkin Alicia lupakan dan abaikan begitu saja. Alicia terbayang pada tatapan lembut yang Marie berikan padanya, teringat ketika Marie kerap membacakannya cerita sebelum tidur saat dia masih kecil, merawatnya dengan penuh kesabaran dan kekhawatiran saat dia sakit.

Alicia tidak mungkin melupakan semua itu. Semua kenangan itu, dengan seorang wanita asing yang dia sebut Mama.

"Mama," lirih Alicia, memeluk Lucius semakin erat, mencari pengaduan di dalam dekapan hangat pria itu dari dingin yang dia rasakan tiba-tiba.

Di samping makam Marie Lucero, terdapat gundukan tanah yang juga belum sepenuhnya kering. Itu adalah makam Alarick.

Saat Alicia diberi tahu tentang kematian Alarick Lucero, Alicia tidak merasa sesedih ini. Dia sempat melamun beberapa waktu, teringat pada kenangan mereka walau Alarick lebih banyak terdiam dan hanya memperhatikan Alicia kecil dari kejauhan. Walau Alarick telah bersikap kejam pada Alicia setelahnya; tidak mengakuinya sebagai anak, memanfaatkannya, bahkan menyiksanya sampai Alicia berharap untuk mati. Tapi bahkan setelah semua itu, tidak bisa menghapus fakta bahwa Alicia pernah menyayanginya dan mereka pernah melalui waktu yang membahagiakan sebagai keluarga yang utuh. Kenangan itu mengganggu Alicia pada kematian Alarick, karena dia lebih suka untuk membenci pria itu secara seutuhnya. Dan mungkin setelah hari itu, Alicia mulai sering mendapatkan mimpi-mimpi buruk tentang kematian Alarick.

Hujan mulai turun, sehingga Lucius membawa Alicia pergi dari sana. Mereka berteduh di rumah duka bersama yang lain.

"Aku ingin melihat Adrian," kata Alicia. Lucius memberikannya anggukan singkat. Mengecup dahi Alicia sebelum membiarkan wanita itu pergi sendiri.

Alicia menemukan Adrian di sebuah ruangan, duduk di dekat jendela menatap ke arah hujan di luar. Langit tampak begitu gelap, seolah bocah laki-laki itu akan melebur bersamanya—bersama kesenduan yang juga diciptakan hujan.

"Adrian," sapa Alicia, duduk di sampingnya.

Adrian menoleh, tersenyum. "Alicia," sapanya balik.

Alicia terdiam untuk beberapa saat, terkejut. Namun dengan segera Alicia bisa menyadari bahwa itu hanyalah senyuman palsu. Dan rasanya hati Alicia ikut tercabik melihat bocah laki-laki itu seperti ini.

"Kau sudah makan siang?" tanya Alicia, berbasa-basi.

"Hm. Sebelum berangkat ke sini, Harrieth menyuapiku sandwich yang lezat."

Walau mungkin sebenarnya makanan apa pun akan terasa hambar saat ini, tapi Alicia salut pada topeng tebal yang Adrian pasang di wajahnya. Alicia tahu bahwa Adrian membutuhkan itu, hidup di dunia ini tidak akan selalu mudah. Tapi untuk seusia Adrian, rasanya terlalu menyakitkan.

Mereka kemudian tidak mengatakan apa pun lagi. Hanya menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong yang sama.

"Dingin, bukan?" Alicia memecah keheningan itu.

"Hm. Terasa ... dingin sekali."

Alicia menoleh ke samping, melihat ekspresi datar Adrian terdistorsi.

"Hujannya akan berlalu," kata Alicia, kemudian merangkul bahu Adiran dan menariknya mendekat. Saat itu juga, tangis Adrian pun pecah. Alicia tidak mengatakan apa pun lagi, membiarkan Adrian meluapkan kesedihannya yang pilu di sana.

***

Alicia menatap bangunan di hadapannya, sebuah mansion yang sangat megah bak sebuah kastil dengan halaman yang sangat luas. Ini adalah mansion baru yang Lucius miliki, letaknya lebih jauh dari kota dan sangat terpencil, dikelilingi oleh pepohonan yang lebat. Alicia tidak pernah datang ke sini, sementara mansion lama Lucius yang habis terbakar telah digunakan untuk bangunan dengan fungsi lain. Sekarang, Lucius seolah berkata padanya untuk memulai semuanya dari awal yang baru.

Namun tempat ini dua kali lebih megah dari mansion sebelumnya. Dari ujung ke ujung, Alicia sudah membayangkan akan seberapa lelahnya dia menyusuri setiap lorong untuk sampai ke ruangan satu ke yang lain. Dan para pelayan yang berjejer di depan juga tampaknya lebih banyak dari sebelumnya, begitu pun juga dengan para penjaga.

"Lucius?" panggil Alicia dengan tatapan tercengang.

Lucius merangkul pinggang Alicia. "Ayo masuk!" katanya.

Alicia menoleh sebentar ke belakang, ke arah Adrian dan Harrieth yang kemudian mengekori mereka masuk ke dalam.

Lucius telah mengizinkan Adrian untuk tinggal bersama mereka. Karena dia adalah satu-satunya Lucero yang tertinggal. Alarick telah memutus banyak sekali tali persaudaraan dengan keluarganya. Oleh karena itu, saat ini Adrian hanya seorang diri. Perusahaan Alarick yang telah sepenuhnya bangkrut, sementara akan diakusisi oleh Denovan. Namun Lucius tidak berniat sedikit pun untuk mengambil harta dari keluarga itu. Lucius akan mengembalikan semuanya, dan memberikannya pada Adrian saat bocah laki-laki ini besar nanti.

Adrian dibawa ke kamarnya oleh Harrieth, sementara Alicia juga pergi ke kamar bersama Lucius.

"Tapi aku mau menemani Adrian lebih lama lagi," kata Alicia.

Lucius menatapnya dalam, melengkan wajahnya ke samping. "Dia akan baik-baik saja. Saat ini, dia hanya butuh waktu sendiri. Kalau dia sudah siap, dia akan bergabung dengan kita."

Perkataan Lucius itu juga ada benarnya, sehingga Alicia pun menurut.

"Lagi pula, kau butuh istirahat," kata Lucius lagi.

Alicia menghela napas. "Yang paling butuh istirahat itu justru kau. Bukan aku."

"Kita berdua bisa istirahat bersama-sama kalau begitu."

Pipi Alicia memerah dengan sendirinya.

Mereka menaiki tangga menuju lantai dua, lalu bertemu Benjamin di lorong sebelah kanan. Pria itu menyapa Lucius dengan hormat dan menatap Alicia ramah sekilas.

"Ah, bibiku sudah ada di sini?" kata Lucius, yang membuat Alicia menatapnya bingung.

"Aunt Gabrielle di sini?" tanyanya.

"Ya. Untuk sementara, dia akan tinggal di sini sampai luka-lukanya sembuh sebelum nanti dia kembali ke rumahnya di Italia," jawab Lucius, lalu menatap Benjamin lagi. "Kau boleh istirahat di kamarmu, Ben," ucapnya.

Benjamin pun pamit undur diri.

Alicia menyusuri lorong sebelah kiri, berhenti di sebuah kamar yang letaknya di ujung. Lucius membukakan pintu dan Alicia pun masuk ke dalam. Dia menatap sekitarnya dengan takjub.

"Kita harus membenahi tempat ini lagi nanti. Saat aku membuatnya, aku tidak berpikir untuk ...." Ucapan Lucius terhenti saat dia tahu apa yang hendak dia katakan.

"Aku tidak berpikir untuk apa?" tanya Alicia, mengernyit.

"Bukan apa-apa!" sahut Lucius cepat, lalu pergi ke meja untuk melepas tas milik Alicia.

***

LIVING WITH THE DEVILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang