Hidup tentang pilihan

186 58 47
                                    

Menjadi Apa?

Sore itu seperti biasa, denting mangkuk yang diketuk dari gerobak Mang Eros sukses memanggil para pelanggan. Eksistensinya memang penyelamat warga yang hanya sekedar ingin jajan atau memenuhi isi perut. Buktinya beberapa anak komplek juga ikut mengantre untuk semangkuk bakso hangat.

Bedanya, sore itu Yudha berada di teras rumah menyeruput habis kuah bakso di depannya. Kaus putih dan celana bokser rombeng biru tua milik Rendika yang terlihat kekecilan dipakainya. Menampilkan kesan seksi. Ah tidak, lebih tepatnya menjijikkan bagi Arin.

"Kalo pulang tuh ngabarin dulu, kaya gak punya hp aja." Sinis Arin sambil berlalu.

Ia baru saja pulang kuliah dan mendapati Yudha yang bersandar setelah menyantap habis dua mangkuk baksonya, persis seperti sapi yang kekenyangan sambil mengelus perutnya yang membuncit.

"Tumben banget pulang dadakan."

"Pengen aja--ceban kan, mang?" Yudha beranjak mendekati gerobak butut yang warnanya mulai memudar--dimakan waktu. Tak acuh pada Arin yang sudah siap bermanuver memuntahkan omelannya.

"Yeeu, kurang goceng atuh Yud."

"Ngutang dulu lah mang, kita kan besti ih."

"Mana ada namanya besti dalam berbisnis. Sekarang teh semuanya serba saingan!"

Arin menghampiri Mang Eros setelah meletakkan tas punggungnya di sofa ruang tamu, mengeluarkan pecahan dua puluh ribu dari sakunya.

"Ceban aja ngutang."

Yudha hanya terkekeh, jurus jitunya selalu ampuh sebab Arin selalu bersedia mengeluarkan uangnya cuma-cuma.

Ia menguncir rambut gondrongnya ke belakang, gerah. Rambutnya memang selalu dibiarkan panjang sampai menutupi telinga. Jika mau di adu dengan rambut bob Arin, panjangnya bahkan hampir setara.

"Ngomel mulu dah mak lampir, baru juga balik." Yudha mencibir, sesaat setelah Mang Eros meninggalkan mereka‐-menuntaskan jalan dengan harap rejeki yang cukup hari itu.

Yudha kembali terdampar di lantai teras rumah, menatap semburat langit warna kuning dan oranye.

"Aya naon? Balik dadakan gini pasti ada sesuatu, kan?"

Arin menatap Abangnya yang terpejam cukup lama, sekedar untuk menikmati desir angin. Membiarkan wajah lelahnya diterpa semilir angin sore.

"Abangmu ini lagi gak berdaya. Kaya hape kaga di charger, lemes."

"Alay banget!" Arin mendaratkan pantatnya di kursi rotan tak jauh dari Yudha. di dekat jejeran palem kuning yang meghiasi pojok teras rumah.

"Aya ngangenin banget."

Arin memutar mata jengah, hanya untuk mendapati kakaknya itu terkekeh pelan.

Yudha adalah definisi laki-laki sangar tapi bucin sampai membuat Arin bergidik geli. Tak jarang ia mengomel jika Yudha sudah memetik gitarnya tengah malam hanya untuk menyanyikan lagu ninabobo untuk Aya, tak peduli berisiknya. Mereka bahkan saling tertawa di tengah heningnya malam di mana banyak orang harus mengistirahatkan raganya.

"Mau punya kakak ipar kaya Aya gak?"

"Teh Ayanya mau gak?"

"Jadi ipar lu? Gue tanyain dulu nih." Tangannya bergerak cepat meraih gawainya dalam saku.

"Bukan, jadi bini abang maksudnya."

"Yeeeu, kalo itu mah gue kudu tanya emaknya dulu nih, kira-kira gimana?"

"Kalo aku sih yes, gak tau kalo mas Anang." Arin memperagakan tangannya seolah mikropon, lalu melemparnya ke udara.

"Jadi gimana mas Anang?"

IRIDESCENT [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang