Sebuah pengakuan

99 26 24
                                    

"Sebat Bran?"

Jean tiba-tiba mendekat berjongkok dekat perapian, dengan muka beler dan suara serak khas bangun tidur; menawarkan sebungkus rokok Marlboro kesukaannya. Gibran mencomot sebatang, hanya untuk menyimpannya disaku.

Gibran bukan perokok, tapi kadang-kadang moodnya yang kacau suka aneh, sebatang rokoknya kadang hanya untuk disimpan lalu dibakar, dibiarkan mengepul tanpa dihisap, hingga menyisakan puntung filter manisnya.
Tidak ada yang tahu tujuannya apa, hanya kadang ia merasa mengamati asap yang mengepul adalah candu.

Hari terlalu pagi dengan embun tebal menutup semburat cahaya matahari. Suasana masih sepi, dinginnya lumayan membuat mereka sedikit menggigil dan saling mengeratkan jaket dan sarung masing-masing.
Kali ini mereka sedang berada di tengah pedesaan yang lumayan jauh dari kota. Perlu 4 jam untuk sampai sana.

Pemilik rumah yang notabenenya ketua RT, saat ini berada di emperan bersama Ayah Gibran, menikmati dingin selepas subuh dengan kopi hitam yang diseduh panas-panas, bercengkrama dengan tema yang tak jauh soal isu lingkungan, atau pemanasan global. Ayahnya ini sejak muda adalah aktivis lingkungan.

Acara amal yang dikelola keluarga Gibran selalu berlangsung pada akhir pekan awal bulan. Dan kali ini Jean ikut tanpa rencana, alias dadakan.

"Lu gak kepo soal gue yang tiba-tiba ngikut?"

"Nggak," Gibran menoleh sejenak, menghalau semburat panas. "Yang pasti lu punya alasan."

Jean terkekeh dan mendekatkan tangannya pada tungku perapian mencari hangat.

"Waktu lu nelpon gue sore sore tuh, gue sebenernya manteb gak ikut. Tapi tiba tiba aja gue kangen nyokap."

Gibran kembali meniup tungku yang penuh api, wajahnya memerah tersengat panas. Sejenak berhenti dari kegiatannya.
Meskipun hanya berdiam mendengarkan Jean yang memulai pembukaan cerita panjang. Geming, menatap lurus pada nyala api.

"Sore terakhir, Emak gue yang udah lemes tuh tiba-tiba aja ngelus gue terus bilang, gue disuruh tetep hidup se-gimanapun tainya hidup itu berjalan. Di luaran masih banyak yang hidupnya gak seberuntung gue, katanya."

Jean menghela napas panjang, seolah ada film lama yang diputar di kepalanya. Membias dengan senyum Mama yang hampir tidak bisa lagi di ingat. Mengabur bersama waktu.

"Gue yang lagi down banget kaya orang gila, lagaknya udah kaya yang punya beban paling ngenes. Lu tau kan gimana gilanya gue?" Ia terkekeh santai.

Gibran mengangguk lamat, masih di ingatnya dengan jelas terputar dengan cepat. Hari dimana Jean harus dilarikan kerumah sakit karena kegilaannya memutus urat nadi setelah 2 minggu Nana—mantan kekasihnya. menghilang untuk memutus hubungan. Jean yang saat itu nyaris tak tertolong, badannya kehilangan banyak berat badan, bahkan kamarnya bukan seperti kamar yang layak dihuni manusia. Lebih mirip kandang kebo.

"Anjeng! Lu ngapain goblok!"

Haekal pucat ketika melihat Jean terkulai dengan darah yang masih mengalir segar dari tangannya. Berkali-kali meneriakkan nama dan mengecek napas Jean. Laki-laki itu hanya melenguh teramat sangat lirih, ada bekas air mata yang belum kering dari ekor matanya.

Satu robekan kain pada bajunya digunakan sebisa mungkin untuk menghentikan laju darah yang keluar, akibat sayatan berulang pada lengan Jean.
Haekal dengan sigap menaikkan Jean, menggendong di punggung dengan darah yang merembes kemana-mana. Alam bawah sadarnya membangun kekuatan irasional anak itu, yang ia rasakan saat itu hanya Jean yang terasa sangat ringan.

Sedang Gibran yang masih terdiam dengan kejadian di depannya. Pikirannya mendadak kosong. Buntu.
Yang dilakukannya hanya mematung, menatap Haekal yang kelabakan dan merasakan sensasi aneh pada aliran darahnya, yang seolah berhenti sepersekian detik. Hingga badannya terasa dingin menggigil dan bergetar, shock.

IRIDESCENT [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang