Kaset usang

80 23 17
                                    

Alin menatap bungkusan kaset yang ia beli beberapa bulan lalu, di pojok kamar dekat tempat sampah. Sengaja ia taruh di sana untuk mengenang artinya luka, patah hati dan pengkhinatan dalam sebuah hubungan—agar sewaktu-waktu jika hatinya kembali perih, ia tak perlu susah payah berlari ke belakang rumah untuk membakarnya karena tak punya tenaga lebih. 

Kakinya berjongkok, dengan perasan yang kembali muram begitu ia meraih kaset yang menurutnya sudah usang. Mana mahal lagi. Tahu begitu kan uangnya lumayan buat beli makan Ang—kucing ras Balinya dengan bulu hitam di bagian muka. Tak lama, bungkusan tadi sudah berpindah tempat. Dilemparkan begitu saja di atas kasur. 

Tentu saja siapa yang tidak muak jika terus-terus melihat benda yang harusnya penuh bahagia itu, ternyata awal semua cerita tak menyenangkan bermula. 2 bulan tentu bukan waktu yang singkat. Di minggu pertama ia habiskan di kamar merenungi segala rasa sakit, dibayangi pertanyaan kenapa dan apa yang tak bekesudahan. Tak napsu makan, tak nyenyak tidur, tak punya gairah hidup. Pada minggu berikutnya, meskipun sedikit tenang, tetap saja setiap malam ia kembali meratap. 

Menyukai Mahen ternyata bisa sepatah ini. Menaruh percaya pada Daniela ternyata bisa membuatnya tak sudi lagi membuka diri. Pada siapa saja, Aileen menjadi sangat waspada dan hati-hati. Jatuh dalam perasaan cinta dan percaya, secara bersamaan membuatnya kehilangan jiwa. Mati dengan sekejap.

Ia berjalan, merebahkan dirinya mengamati bentuk kaset itu, sampai tangannya terasa gatal mengulur pita didalam, menariknya keluar. Lagi, dan lagi.
Hingga pita kaset didalam habis ditarik dan berujung kusut.
Entah kenapa ia menikmati sensasinya, semirik tipis-tipisnya berubah menjadi cengiran lebar dan terkekeh sumbang.

"Kusut banget kaya gue." Monolognya.

Rumahnya begitu sepi, hanya dirinya di dalam kamar dengan tumpukan buku berserakan di atas kasur. Monolognya yang selalu ricuh tak pernah menemukan jawaban pasti. 

"Apa gue bakar aja ya? Lagian mau dipake gimana, gue kan gak punya tape-nya."

Ia bangkit mencari pulpen di atas nakas, bergerak untuk memasukkan kembali pita itu pada wadahnya. Mengurungkan niatnya yang hendak membumi hanguskan kaset lawas itu.
Sayang dibuang, meskipun perasaannya sia-sia, setidaknya kaset itu harus berada ditangan yang tepat tak seperti dirinya.

∞ ᴥ ∞


"Dia tuh gak pernah liat gue, sibuk kejebak masa lalu. Padahal ya Teh, kalo dia mau noleh bentar aja. Dia bakal liat gue masih di sini. Gue masih ada. Gue yang bakal bikin dia bahagia, gimana pun caranya."

Arin mendengarkan curhatan dengan topik beratnya Haekal kali ini.
Di depan Alfamart yang tak jauh dari rumahnya, mereka berselisih. Berakhir di sini, menikmati malam dengan sekaleng kopi dingin dan keripik singkong. Entah bagaimana awal mulanya, yang pasti ketika pertama kali Haekal terbuka untuk bercerita, Arin sedikit tertegun hingga lupa menyesap kopinya.

Haekal sesekali menatap jalanan, juga menatap langit yang mulai temaram. Sibuk berlarian menghindar dari tatapan Arin ketika bercerita. Agaknya, tak menatap Arin adalah sebuah bentuk penguatan diri.

Sepanjang ceritanya, Haekal hanya sanggup menyebut 'dia'. Iya, pengganti kata panggilan Papanya. Rasanya aneh kalau dirinya menyebut kata Papa, bapak, ayah, dan sebagainya. Karena kata itu sudah dikuburnya lama, mungkin sejak hari berkabung Mamanya. Mereka terlalu canggung.

"Teh, gue ngerasa gak berguna banget tau. Padahal gue anaknya,"

Haekal mengambil jeda, terkekeh dengan hambar. Ia mulai menunduk, menatap ujung sandal gunungnya. Ditariknya satu persatu benang kusut dengan perasaan berat dan carut-marut. Setiap membahas kata 'keluarga' hatinya selalu menolak kata ringan. Sesak, berat, aneh, marah, kecewa diaduk dengan sempurna.

IRIDESCENT [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang