Pagi itu, ketika sinar matahari baru saja hendak menghangat. Jam masih setengah 6 pagi ketika ia menggantungkan sekantong plastik bubur untuk Aya sarapan. Niatnya, ia bergegas pulang setelah meninggalkan bungkusan itu.
"Yudha?"
Deg!
Mama Aya.
Dibalik pagar putih megah yang tingginya mencapai hampir dua kali lipat dirinya, seorang wanita paruh baya itu memanggilnya, berdiri dengan anggun dibalik pagar. Semburat kecantikannya persis Aya.
Yudha bergeming, masih belum siap jiwa raga.
Kesalahan pertamanya adalah; gak dandan.
Harusnya setelah flight subuh paling gak ya cuci muka lah. Mana sekarang lagi berhadapan sama calon mertua belum mandi, rambut gondrong acak-acakan khas bangun tidur dengan kolor selutut. Tas selempangnya dibiarkan menjuntai, sedang dirinya masih lusuh macam gembel kemarin sore."Iya, Tan." jawabnya singkat dengan senyum kikuk.
"Bener Yudha kan?" Sekali lagi bertanya. Beliau memindai, dengan tatapan kurang suka.
"Iya bener Tante, saya Yudha."
Beliau berdeham, entah kenapa tenggorokannya terasa ikut gatal seperti ada yang mengganjal jalan masuknya. "Kamu ada hubungan apa sama anak saya?"
Hanya dengan dehaman singkat, ia berdegup memburu. Tenggorokannya tercekat. Susah payah ia menelan ludah yang entah kenapa rasanya tiba-tiba tersangkut jalannya.
"Teman aja ko Tan." Ia berkilah. Mengantisipasi respon apa yang akan didapatnya.
"Oh, bagus kalo gitu. Jangan terlalu akrab ya, nanti jadi masalah. Anak saya itu banyak yang naksir, dia harus ketemu pria yang pantes gak asal bergaul apalagi nyomot begundal gak jelas."
Nadanya jelas tidak mengenakkan siapa saja yang mendengar, seolah memang kalau tidak selevel, ya jangan dekat-dekat.
"Maunya sih jadi teman hidup, nanti saya balik lagi ya Tan. Minta restu Om sama Tante."
Wanita itu melotot tak percaya.
Dengan cengiran lebar paling bodoh, ia sebisa mungkin bersikap sopan. Meskipun diam-diam harus meringis mengulum pahit. Rasanya ditampar kenyataan, dipaksa sadar bahwasanya Aya memang seharusnya bertemu pria yang lebih mapan dan pantas.
Dengan senyum yang sesusah payah itu dipaksakan, akhirnya Yudha hanya bisa mengangguk pelan. Mengakhiri percakapan sebelum kalimat lain terlontar dan menyakitinya lebih dalam.
"Saya pamit ya, Tan."
Tangannya meraih untuk mencium tangan Mama Aya, meskipun sebenarnya lututnya sudah lemas, kewalahan menahan pacu jantungnya yang hampir terjatuh ke mata kaki. Akhirnya ia berlalu, menaiki gocar pagi itu diiringi tatapan lekat si tante.
"Berat banget rintangan gue, baru ngadepin satu. Entar kalo ngadep bedua bisa mental breakdance gue."
∞ ᴥ ∞
"Mama ih, Aya teh gak mau."
Ruang tengah rumahnya masih sama, dengan sofa warna merah dan televisi yang dibiarkan menyala, ramai yang sebenarnya tak terlalu dipedulikan.
Sama seperti biasanya, Mamanya bersandar di punggung sofa dengan bantal yang dibiarkan menumpu punggungnya yang sudah renta.
Sedang Aya berdecak dengan jengkel, bahasan setiap kali bercengkrama tak jauh-jauh dari jodoh dan nikah. Dan kali ini lagi-lagi Mama menyuruhnya untuk menemui rekan bisnis Papanya.Memang kata orang seusia Aya adalah waktu yang pas untuk menikah, tapi menjalin komitmen seumur hidup itu bukan sesuatu yang harus terburu-buru. Setiap bunga punya waktunya sendiri untuk mekar kemudian layu, pun dengan Aya. Toh, yang terpenting dari sebuah hubungan dan hidup adalah menjalani sepenuh hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT [NCT]
Teen FictionPerasaan itu ibarat warna, kadang biru kadang abu-abu. Tapi karena warnawarni itu hidup jadi lebih layak disyukuri. Kenapa? Ya karena cinta aja gak cukup. Ada banyak hal kompleks yang bertumbuh bareng perasaan lain. #7-gfriend 19/10/22 #5-gfriend 21...