Gibran meraba rusuknya, merasakan ritme detak jantung yang hampir tidak terdengar. Padahal saat ini ia baik-baik saja.Kemudian beralih mencari denyut nadi di tangannya. Sama. Detaknya nyaris tak terasa. Rasanya aneh, dia hidup tapi hampir seperti orang mati.
Ia menggali emosi dan memori yang selama ini terkubur oleh waktu dan perjalanan panjang, ingatannya mengabur. Sesusah itu ia mengingat hari-harinya, hari baik dan buruk seolah melebur menciptakan perasaan monoton. Emosinya nyaris mati.
Baginya, Alin adalah definisi dari sebuah hidup. Jantungnya menjadi berpacu lebih hebat, ada ratusan kembang api yang meledak dalam hatinya menyeruak dengan perasaan gegap gempita—meskipun harus menatap dari jauh. Itu sudah cukup membuatnya bahagia. Walaupun lagi-lagi ia harus dipukul ribuan kali, melangkah mundur mempersilahkan Rendika di garis terdepan.
"Mas?"
Gibran menoleh, menatap Ayahnya yang kembali setelah bermain pasir pantai. Setengah celananya basah dengan pasir yang menempel di mana-mana. Mendudukkan diri di sebelah Gibran yang sedari tadi rebahan di tikar plastik ukuran 2x2m.
"Udah jauh-jauh kesini sayang banget gak main air."
"Males Yah, tar sunburn."
"Gaya banget ngomongnya sunburn. Padahal kecilnya kamu suka main sampe keling." Ayah mencibir, lalu mencomot potongan semangka di dekatnya. "Inget gak kamu sampe dibawain sapu sama Ibuk? Pasti ngadunya ke Ayah kalau nangis, apa-apa Ayaaah. Udah gedhe aja gengsian."
Gibran mencebik, ia ingat waktu itu ia masih kelas 2 SD dan pertama kali melihat Ibunya membawa sapu dengan raut marah sebab ia tidak pulang kerumah sepulang sekolah sampai hari hampir maghrib. Badannya dekil bercampur keringat khas, dengan kaus dalam yang warna putihnya hampir menjadi coklat muda. Ia terbirit menyambar baju dan tasnya, berlari pulang mengadu pada Ayah sambil menangis tersedu-sedu. Mamanya saat itu terlihat mengerikan mirip seperti godzilla yang mengamuk. Persis yang ia tonton tadi malam.
"Iya itu kan duluu, sekarang good looking jadi investasi tau, Yah."
"Kamu tuh udah good looking Mas, lha wong bibitnya dari Ayah." Satu comotan anggur terakhir yang tinggal tangkainya. Kali ini Ayah mencebik, seakan mencemooh Gibran yang suka tak percaya kalau dirinya yang tampan itu adalah hasil karya Ayah.
Terik pantai yang cerah seakan tak membuat bu Ayu gentar. Sama seperti pak Agung yang hobi menginjakkan kaki di tanah—entah itu tenis atau diving. Wanita itu selalu menyukai hal-hal yang berbau outdoor. Kontras dengan Gibran yang setengah hati harus meninggalkana kamar. Tempat favoritnya.
Sambil menatap sang istri yang tengah bermain pasir pantai dengan Julia, keponakannya. Desir haru dan bahagia menyusup perlahan, membuatnya tanpa sadar menarik bibir hingga deretan giginya terpampang jelas. Beginilah sebuah gambaran keluarga harmonis, yang jadi impian mudanya dulu. Rasanya, ribuan syukur pun tak cukup untuk menggambarkan betapa Tuhan itu Maha Baik. Memberinya istri yang cantik dan mau menerima segala kekurangannya, anak yang tampan dan cerdas. Mempersatukan mereka menjadi satu keluarga kecil yang teramat bahagia.
"Kalau sekarang, lagi galauin apa?" lanjutnya.
"Kepo banget urusan anak muda."
"Loh, Ayah juga pernah muda. Siapa tau Ayah bisa kasih solusi, kan. Masalah cinta? Kecil. Ayahmu ini dulu laku banget, banyak yang naksir. Tapi ya akhirnya Ayah milih ibuk. Tau gak kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT [NCT]
Teen FictionPerasaan itu ibarat warna, kadang biru kadang abu-abu. Tapi karena warnawarni itu hidup jadi lebih layak disyukuri. Kenapa? Ya karena cinta aja gak cukup. Ada banyak hal kompleks yang bertumbuh bareng perasaan lain. #7-gfriend 19/10/22 #5-gfriend 21...