Yang tua yang dewasa

186 53 38
                                    

"Wendy!" Pekiknya.

Basah.

Matanya terbelalak memaksanya bangun dari mimpi buruk di jam setengah 2 pagi, mimpi yang akhir-akhir ini sering bertandang membangunkan riak yang belum lama tenang.
Cucuran peluhnya jatuh seperti bulir jagung. Kepalanya berdenyut hebat, bekas air mata masih melekat di sana. Merembes dari ekor mata dan membuat genangan pada sarung bantalnya, entah mana keringat mana air mata.

Ia mengerjap beberapa kali, menyadarkan diri. Berbalik meraba ranjang yang terasa lebih luas dan kosong, tak ada siapapun di sana. Hanya dirinya. Satu kenyataan menariknya lagi ke dasar.

Di luar turun hujan dengan sangat deras, disertai kilat dan guntur yang bersahutan. Cukup membuat suasana hatinya memburuk. Dingin dan pilu beradu dalam satu waktu. Merengkuhnya kuat-kuat, membuatnya pasrah menikmati malamnya yang semakin temaram.

Hampir 3 tahun semenjak kepergian Wendy.
Kepergian yang disesali sampai kini, menjerat dan ricuh bertentangan dalam dirinya. Sebagian dirinya masih tak rela, dan sebagian lagi mengalah pada ego. Malam itu, malam yang panjang bagi Tian dan Wendy. Dengan langkah yang harus berpisah pada sebuah persimpangan gelap.

Masih terbaring, obsidiannya menyusuri setiap sudut ruangan, hingga berakhir pada pintu kamar yang tertutup rapat. Ada sebuah gantungan yang sepi, yang sudah lama jas itu tidak lagi tergantung di sana. Dulu, jas rapih selalu ada di sana, siap dipakai dan wangi kopi yang semerbak dari dapurnya setiap pagi. Sebuah rutinitas sederhana yang nyatanya berdampak menjadi kehampaan besar.

Tahu bedanya kosong dan hampa?
Kosong ya kosong. Sedang hampa, ada sesuatu yang pernah mengisi kekosongan itu lalu pergi.

Sekilas bayangan Wendy malam itu kembali hadir, berbalik menatap Tian pada pintu kamar yang tertutup rapat.

Wanita itu tak mencegah derai air matanya, tumpah ruah. Membiarkan setiap tetesnya terjun sebagai saksi, dirinya terluka.
Di dekapnya bayi kecil mereka rapat-rapat, takut terbangun karena teriakan Papanya. Hatinya sudah mantap untuk berpisah, meski tetap ada perih yang tak bisa terelakkan.

Malam itu bertandang gerimis tipis-tipis. Pada pertengahan bulan Maret. Tak begitu lebat, tapi cukup bisa membasahi siapa saja yang berjalan di bawah sana. Dan Wendy sudah kepalang basah, hatinya bagai tsunami yang meluap menenggelamkan semua asa di sana. Porak poranda.

Sejurus kemudian masih tak bergeming. Wendy masih menatap Tian cukup lama, memintanya paham. Meski tak ada kata yang terucap, sinar matanya membuat Tian paham. Alasanya terluka, alasannya rapuh, alasannya memilih pergi tak lain adalah Tian sendiri. Paham mereka yang sudah tak sejalan. Mereka harus melenggang pada jalan masing-masing, untuk berhenti saling menyakiti.

"Kita cukup sampai sini mas."

Kata-katanya jelas terngiang, menari dengan aneh sebagai penutup malam yang seakan berlalu, menuli bersama hati yang sudah mengeras.

Dan Tian dengan sorot amarah dan kecewa. Menggenggam erat lengan itu yang perlahan terhenti jalan darahnya, membuat memar merah dan perlahan kebas menjalar dengan pasti.

Tian masih saja arogan. Sedikit memohon untuk tak beranjak. Mengais sedikit asa yang barangkali masih tersisa untuk Tian simpan, pada wanita yang lebih dari satu dekade ini menemaninya.

Wanita itu mencoba melepaskan cengkraman Tian yang semakin kuat. Kalau ditanya siapa yang paling terluka, keduanya. Tian yang tak siap kehilangan istrinya, dan Wendy yang sudah lelah dengan bahteranya. Sudah banyak luka yang bahkan masih basah dan bernanah, tidak kunjung kering, tapi semakin busuk.

Tian memandangi punggung istrinya ketika genggamannya terlepas. Membawa 2 koper dan tentu saja--Kylo bersamanya, menghilang dari balik pintu jati. Sebuah rasa sesak memburu tanpa permisi dengan emosi yang bercampur jadi satu.

IRIDESCENT [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang