Himnae!

146 56 37
                                    

"Ran, kita malem ini ada jadwal meeting sama klien ya."

Rania yang tengah berkutat dengan tumpukan berkas di cubicle-nya menatap sumber suara. Wanita dengan kemeja biru ceraka dan celana jeans cutbray terlihat berjalan ke arahnya. Rambut keriting sebahunya dibiarkan tergerai, Betty namanya. Orang Surabaya yang terdampar di sini mengikuti suami, umurnya tak jauh dari Rania. Hanya beda 3 tahun.

"Aku ikut mbak Bet?" Tanyanya, setengah tak percaya.

"Iya, nanti kita bareng sama pak Tian aja."

Setelah memastikan pendengarannya baik-baik saja. Rania kembali bertanya, "Yang berangkat siapa aja?"

Hanya menegaskan, sebab baru kali ini Rania harus ikut project yang ditangani oleh Tian Tanuwidjaya langsung, sang Manajer.

"Kamu, pak Tian, Julius sama aku."

"Pulangnya lama gak Mbak? Biar aku bisa ngabarin orang rumah."

"Hmm.. semoga aja gak kemaleman ya. Soalnya ini kan kita nego mau garap event, kalo perkiraanku sih mungkin jam 10 malem paling mentok. Kita berangkat jam 7 ya.. bisa makan malem dulu. Kalo kamu mau pulang juga gak pa-pa asal sampe sini tepat waktu." tuturnya panjang lebar disusul anggukan lamat dari Rania sebagai jawaban ia paham.

Gugup tentu saja. Betty yang seolah tahu isi hati Rania, menepuk pundaknya dengan lembut. Ya pasti Betty tahu bagaimana dag dig duarnya kalau tiba-tiba atasan kantornya ikut turun tangan. Menggarap projek besar. Apalagi Rania masih tergolong anak  baru.

"Tenang, lemburannya lumayan ko Ran."

"Itung-itung nambah pengalaman Ran, biar gak pasif terus, upgrade skill nego sama komunikasi.. siapa tahu kamu tahun depan bisa dapet promosi." Yolanda menyahut dengan tatapan yang masih fokus pada layar kotaknya, memunggungi Betty dan Rania yang tengah mengobrol perkara malam ini.

"Ih, aku baru 6 bulan disini mana bisa langsung promosi."

"Loh? Ko kamu pesimis? Kerjaanmu kan bagus, tinggal sat set ngomongnya aja diasah. Biar anak baru kalo oke mah langsung gas. Mbak Tyas tuh paling gini kalo nilai orang."

Betty mengacungkan 2 jempolnya. Dibumbui dengan muka yang mencebik mantap.

"Heheh, yaa tak aminin aja ya mbak."

"Jangan kaya Yolanda, udah 3 tahun mandeg karirnya. Gak mau dinaikin jabatan."

"Naha sih Mbak? Aku deui." Yolanda memutar arah kursinya dengan tatapan malas "Aku bukan gak bisa, tapi gak mau promosi. Ribetin isi kepala aja tambah beban."

"Lah tapi lumayan loh, cuannya kan nambah juga."

"Cukup Mbak Betty aja. Aku gak pengen botak dini."

"Yeu! Kalo bisa juga aku mau. Masalahnya emang jabatanku udah mentok di sini."

"Tak doain ya Mbak, semoga kamu di rolling divisi aja. Lieur tau tiap hari dengerin kamu ngomel." Ucap Yolanda sambil berlalu memutar kembali kursinya.

"Ya asal cuannya oke, aku mah gas terus."

Betty kembali ke kursinya, sedang Rania terkikik mendengar perdebatan mereka. Ia kembali berjibaku pada tuts keyboard yang menjadi harmonisasi hari itu.
Hingga getar ponselnya kembali menginterupsi atensinya.

Pesan masuk dari Tio, membuatnya sekilas melirik jam.
Notifikasi yang diam-diam membuat seulas garis tipis tercetak membuat garis sabit.

∞ ᴥ ∞

Malam yang sama, selepas meeting dengan klien, Rania tidak bersuara sepatah kata pun sejak keluar dari lobi hotel. Begitu masuk di kursi tengah mobil, ia menyandarkan kepalanya menghadap jendela, ia memejam erat tak peduli dengan rekannya yang ramai tergelak entah menertawakan apa. Pening. Hanya itu yang ia rasakan.

IRIDESCENT [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang