Nobody

47 16 20
                                    

Kampus mulai terlihat sepi, tak seramai pagi tadi. Hanya beberapa anak yang berlalu lalang di taman belakang kampus. Beberapa juga membentuk sebuah koloni kecil, saling bercengkrama dengan bahasan yang tak jauh-jauh dari gosip kampus atau tugas menyebalkan.

Di antara banyaknya manusia di sana yang menuntaskan tujuannya. Gibran menjadi salah satu penduduk kampus yang melenggang.

Pemuda dengan jaket denim itu membawa ringan tungkainya menuju parkiran belakang, sesekali tersenyum sebagai jawaban disapa teman sejawatnya. Karena meskipun terlihat pendiam, Gibran juga sebenarnya banyak koneksinya.

Kali ini tujuannya adalah pulang. Melewati lorong-lorong dengan taman kecil menghiasi sepanjang bangunan itu berdiri.
Sebelum akhirnya langkahnya terhenti, membidik satu spot manusia di bawah pohon tabebuya. Entah tengah membicarakan apa.

Cukup lama ia berdiri termangu tanpa bergerak sesenti pun, dengan napas yang sempat tertahan. Memandangi punggung-punggung indah yang terlihat cocok menurutnya.

Siang tak terlalu terik, kala itu awan-awan berarak membentuk gerombolan domba putih. Dan kebanyakan manusia memilih bernaung, tak sudi kulitnya dicumbu panas matahari. Dan Gibran juga termasuk manusia yang mencari naungan, dari gejolak hatinya yang memburu.

Tidak munafik kalau beberapa saat yang lalu, ada pecahan kaca yang tiba-tiba meledak akibat tersengat panas yang ekstra. Menghujam dan menyebar, menjalari ulu hatinya. Perih. Dadanya terasa berat.

Prediksinya, Rendika tengah memulai bahasan serius ketika raut kegugupan tak bisa ditutupinya, begitupun dengan Alin yang tak berkutik. Saling mengunci tatapan, membuat suasana di antara mereka terlihat cukup canggung.

Tapi lagi-lagi, Gibran tahu. Ini bukan porsinya. Bukan ranahnya.
Karena untuk melangkah lebih jauh masuk lingkaran mereka, ia hanya butuh sedepa. Ia tak perlu sehasta apalagi selaksa.
Nyatanya, satu langkah saja Gibran tak mau. Memilih geming tanpa pernah protes dan mengubur kembali perasaan yang menurutnya semu.

Gibran bukan pejuang. Dia cukup tahu diri bahwasanya ia tak berhak, dengan apapun yang mereka lakukan.

Ia tak berhak.

Iya, tak berhak.

Kata-kata itu terus memutar seperti magis. Menyedot dalam lubang hitam semakin dalam mencari jalan pulang. Katanya yang menampar diri sendiri, meminta sadar tetapi malah membuatnya semakin terjerembab dalam kubangan perih.

Layaknya manusia tamak, mungkin ia hendak berkilah 'tak apa-apa' saat Gibran tersadar untuk menenangkan diri, ketika memilih pada titik untuk menyerah. Tapi di sisi lain ia memberontak tak terima. Meminta lebih, tapi enggan bersuara.

It's hurt as fuck. But suddenly i remember that i'm nobody. What kind of damn feeling is this hahah.

Gibran terkekeh sumbang, mendengus napas pelan. Harinya cukup sampai di sini. Membiarkan gelenyar ngilu menari-nari tanpa bisa diredam.

Kalau dikata kacau. Iya, saat ini Gibran tengah kalut. Tapi apa bisa dikata? Lebih baik sakit daripada rusak susu sebelanga, katanya. Pertemanan mereka jauh tak ternilai kalau harus maju untuk sebuah cinta. Jadi dirinya kembali melenggang, menuntaskan jalan pulang.

∞ ᴥ ∞

"Coba Teteh pikir lagi, beneran mau sama Om John?"

Mahen tanpa basa-basi melenggang masuk, mendudukkan dirinya di bean bag sudut kamar Tetehnya, menatap Wendy dan Kylo bergantian.

"Om dari mana? Dia tuh seumuran sama Teteh. Harusnya kamu manggil Abang."

Telinganya tergelitik, hingga menampilkan tatapan aneh. "Ya tapi Teh, dia bapaknya adek tingkatku. Terus anaknya manggil aku Om gitu?"

IRIDESCENT [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang