Pada kerumunan tamu undangan pagi itu, mobil sedan hitamnya terparkir tak jauh dari acara. Dengan gaya minimalis bertema garden party didominasi warna putih dan rose gold.
"Kamu gak papa, Mas? Beneran mau turun?"
Baju batik dan celana hitam yang ia rapikan berkali-kali agar tak kumal sepertinya akan muak kalau mereka dapat mengumpat Tian hari ini. Lalu untuk terakhir kalinya ia menatap kaya spion, membetulkan letak rambutnya dengan sedikit tersenyum.
"Iya, kamu kalau gak nyaman tunggu di mobil aja. Saya gak bakal lama."
"Harusnya aku yang bilang gitu." Sahut Aya, membuat Tian terkekeh. 20 menit berdiam diri di dalam mobil agaknya tak membuat pacu jantung Tian sedikitpun mereda. Setelah dirasa semuanya sempurna, Tian menghela napas panjang.
"Beneran, saya gak papa." jawabnya, lalu keluar mobil mendahului Aya, berdiri lama menatap arah rumah yang mempunyai banyak cerita.
Dengan kebaya payet biru muda dan rok batik setengah panjang menutup kaki jenjangnya, Aya terlihat begitu anggun bersanding dengan Tian. Berjalan beriringan melewati tamu undangan. Tian sengaja memilih di pojok, agak jauh dari kerumunan sementara berdiri dan menatap lekat Wendy. Wanita itu tak henti-hentinya menyunggingkan bibir menyambut para tamu yang datang memberikan doa selamat untuk pernikahan keduanya.
"Mas, aku ke belakang dulu ya." bisik Aya hati-hati, hanya untuk sebuah anggukan dari Tian sebagai tanda persetujuan.
Soraya beranjak dari kerumunan tamu, meninggalkan Tian yang masih enggan untuk mendekat atau bahkan duduk menikmati jamuan. Setelah bertanya pada seorang pemuda yang mengenakan baju warna seragam—mungkin kerabat dekat mempelai. Aya menembus kerumunan hingga langkah kakinya terhenti di depan pintu toilet.
"Ren?" telisiknya ragu-ragu. Sedangkan Rendika yang disapa gelagapan. Tak menyangka malah bertemu Aya di sini.
"E-eh, halo Teh Aya. Apa kabar?" Dengan gerak ragu dan menoleh sekitar, memastikan kehadiran Aya barangkali tak sendiri. Tapi nihil, di hadapannya hanya ada Soraya—mantan kekasih abangnya yang terlihat begitu cantik dengan aura elegan.
"Sama siapa ke sini?"
"Sama Papa, Teteh sendiri sama siapa?"
Soraya tersenyum lembut, dalam hati ia meringis. Sejenak, sempat berharap jika ia dapat bertemu Yudha di sini barang sejenak. Ternyata ekspektasi mendorongnya untuk jauh rasional, mereka sudah putus sejak pertengahan tahun lalu. Harusnya ia sudah mulai terbiasa dengan kekosongan yang Yudha tinggalkan. Tapi apa yang Aya harapkan ternyata masih sama, melupakan Yudha tak segampang itu.
"Sama temen." singkatnya, dapat Aya tangkap gerak ragu Rendika yang mengangguk membuat Aya kembali tersenyum sumir, mungkin saja Rendika kikuk.
"... mmm, Bang Yudha hari ini balik ke Surabaya, siapa tau Teteh mau dengar secuil kabar dari Abang." Rendika menarik sudut bibirnya tulus beberapa detik. Setelahnya, matanya membola sempurna sambil tangannya tergerak untuk memukul mulutnya sendiri beberapa kali—merutuki kebodohannya. Rendika lupa! Harusnya bagian itu tak perlu ia sampaikan pada Aya, abangnya itu pasti marah kalau sampai Teh Aya tahu mulutnya tak sengaja keceplosan memberi info cuma-cuma.
Aya sama kagetnya, ia cukup tertegun. Hatinya mendadak berdesir, disertai perasaan ngilu yang selama ini selalu tersimpan rapat. Yudha seolah enggan membisikinya sedikit angin segar. Menjelma menjadi sosok yang benar-benar asing dan membuat Aya kehilangan arah selama ini. Bahkan Aya sempat membuat akun bodong untuk stalking, tapi isi dari sosmednya terakhir update tahun lalu. Seakan akun itu benar-benar ditinggal pemiliknya dengan foto-foto rapi mereka yang tak pernah Yudha hapus. Ini terlalu membingungkan bagi Aya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT [NCT]
Подростковая литератураPerasaan itu ibarat warna, kadang biru kadang abu-abu. Tapi karena warnawarni itu hidup jadi lebih layak disyukuri. Kenapa? Ya karena cinta aja gak cukup. Ada banyak hal kompleks yang bertumbuh bareng perasaan lain. #7-gfriend 19/10/22 #5-gfriend 21...