"Dia tadi ke sini beneran bawa martabak doang, Ya?"
Aya mendaratkan pantatnya di sofa merah ruang tengah, meladeni obrolan sang Papa tak lama setelah Yudha pulang.
Tumben, Weekend Papanya senggang di rumah, biasanya udah sat set ngilang dari pagi keliling Konoha. Maklum lah, pejabat sok sibuk. Apalagi dekat dengan pemilu, Papanya hampir setiap hari pulang hanya untuk tidur dan makan kalau sempat.Bicara soal Yudha, yang hampir setahun belakangan ini menjalin asmara dengannya. Sudah sepatutnya diacungi dua jempol, sebab baru kali ini lelaki itu berani menunjukkan batang hidungnya menghadap orangtua Aya.
Yudhanya datang dengan tatanan rambut baru, yang membuatnya terlihat lebih tampan dan rapih. Jenis potongan rambut kesukaan mertua, jenggotnya juga dicukur habis.
Meskipun sebelum itu harus menggelar drama semalaman sebelum ke rumah, galaunya setengah mampus mau potong rambut kesayangan. Pasalnya Yudha merasa aneh, katanya kaya lagi masuk sekolah setelah libur panjang. Apa-apa harus rapih.
Tapi demi Aya, demi merebut restu calon mertua sih yang paling utama. Ia harus rela potong rambut dan merelakan duit jatah jajan ciki.Yudha datang dengan dua kotak martabak manis. Niatnya hanya berkenalan sekaligus membuka gerbang restu, juga karena laporan Aya yang mulai jengah karena bukan sekali-dua kali kekasihnya disindir Mama karena tak kunjung menghadap pak Wiseno.
Padahal Aya sudah meyakinkan berulang kali, berdalih apapun untuk menyemangati Yudha yang mengumpulkan titik-titik keberanian. Alasan lainnya, agar Aya berhenti dipaksa sang Mama kencan buta, tentunya. Akhirnya setelah hampir 1 tahun, Yudha akhirnya maju mengetuk pintu rumahnya.
"Iya, Aya yang suruh."
Pak Wiseno yang tengah santai membenarkan sarung kesayangannya, duduk bersila dengan syahdu persis di warung kopi pinggir jalan. Mencomot sepotong martabak manis isi kacang dan cokelat yang dibawa Yudha.
"Modal martabak doang, sok-sokan ngajak kamu pacaran." Kelakarnya, meskipun Aya tahu, Papanya sedang bercanda. Tetap saja telinganya seperti disentil dan berakhir mengejek balik.
"Lebih mahal dia, dari pada Papa ngajak jalan Mama cuma modal es teh."
"Papa emang modal es teh, tapi belinya di Singapura. Jelas lebih mahal lah."
Aya mencebik, ngapain sih effort banget beli es teh di Singapura? Lagian kan, es teh mah Bandung juga banyak.
"Kamu nemu di mana sih Ya?"
Mama mendekat dengan nampan berisi teh wangi favorit Papa dan kue kering dari dapur.
Lagi-lagi, kalau Mama sudah bersuara, bukan ubin masjid yang sejuk mampir, tapi gerombolan semut merah yang merongrong masuk gendang telinga, menggerogoti sampai ke hati."Papaa.." rengek Aya menatap Papa, meminta pembelaan. Tak terima Yudhanya diremehkan. Sedang Papa terkekeh jumawa.
"Udahlah Ma, kalo Aya seneng kenapa mesti dilarang? Kaya gak pernah muda aja."
"Ya karena Mama pernah muda, makanya ngewanti-wanti. Mama gak suka sama dia."
Aya saling menatap dengan lelaki paruh baya itu yang diam-diam memilih bungkam sesaat. Dengan sorot bingung dan sukar keduanya, Aya memilih menjauh, malas berlama-lama di sana sebelum kata-kata sengak lain memicu sakit hatinya. Karena akhirnya dapat ditebak--Mama yang ngotot dan Papa yang menengahi mereka.
Ia melengos, tungkainya ringan membawanya menapaki anak tangga satu persatu. Dengan gerak lincah, jari lentiknya menyentuh layar kotak, menghubungi Yudha. Padahal belum ada setengah jam bertemu, Aya sudah diburu rindu lagi.
"Aya naon Ay? Gercep banget nelpon."
"Kangen."
Dari seberang Yudha mencebik tanpa menoleh, matanya masih lurus menatap kondisi jalanan.
Sepanjang jalan Cikutra, Yudha sengaja melajukan mobil hitamnya sangat pelan--karena memang jalanan lumayan padat. Ponselnya dibiarkan menempel pada car holder dengan loadspeaker aktif.

KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT [NCT]
Novela JuvenilPerasaan itu ibarat warna, kadang biru kadang abu-abu. Tapi karena warnawarni itu hidup jadi lebih layak disyukuri. Kenapa? Ya karena cinta aja gak cukup. Ada banyak hal kompleks yang bertumbuh bareng perasaan lain. #7-gfriend 19/10/22 #5-gfriend 21...