Sate bumbu kacang

86 21 13
                                    

"Sebenernya gue gak begitu suka sate."

Alin menatap sepiring sate 7 tusuk dengan lontong yang dibumbui kacang. Baginya perpaduan kacang dan sate itu aneh, bikin eneg. Dia paling bisa makan 3 tusuk aja, selebihnya selalu ada rasa mual yang naik kepermukaan. Apalagi sate kambing lebih cepat membuatnya mual karena baunya yang cukup kuat bagi Aileen.

"Tapi kalo lu suka, gue bakal belajar suka juga." Lanjutnya.

Rendika tertegun. Acara menikmati satenya berhenti seketika, seperti napsu makannya yang tiba-tiba hilang karena kalimat Alin membuatnya tak nyaman.

Ia menatap Alin yang terkikik geli melihat ekspresi paling bodohnya saat ini; masih ternganga dengan setusuk sate dan mulut penuh lontong.

"Beneran gak suka?" Ia memastikan lagi, dengan kesadarannya yang kini sudah kembali.

Alin mengangguk. Mengaduk-aduk bumbu kacang dengan aroma yang khas.

"Sukanya apa dong?" Rendika meletakkan tusuk sate yang habis dagingnya. Mengambil lagi setusuk sate lain dengan lontong yang tertancap pada ujung lidinya.

"Lu, mungkin?"

Rendika hampir saja merasakan sate yang hendak ditelannya, berbalik melewati lubang hidung. Tersedak heboh. Kalau saja tak cepat-cepat mereguk segelas air putih hingga tandas, mungkin saat ini ia tengah pingsan dilarikan dengan ambulan. Karena jujur saja sepersekian detik rasanya nyawanya dipaksa melambung sangat tinggi.

"Jangan bikin baper Lin, ntar ditembak malah nolak." Dari sudut matanya yang berair, pemuda itu masih mencoba meredakan panas yang tiba-tiba menyeruak dari lambung melewati kerongkongan sampai lubang hidung. Panas campur perih.

Alin tergelak sejadi-jadi, responnya tak jauh-jauh dari menelengkan kepala sambil bertepuk tangan. Kebiasannya saat tertawa selalu sama, entah bertepuk tangan atau mencari korban untuk ditepuk dengan telapaknya yang sedikit pedas. Sedangkan Rendika menggeleng dengan masam, entah bagian mana dari kata-katanya yang menurut Aileen lucu hingga anak itu harus tertawa dengan lepas seperti itu.

"Ketawa lu."  Decaknya, segelas penuh air putih ditenggaknya lagi. Ketika topik yang diusungnya tak ada respon positif selain kekehan Alin yang merasa—lagi-lagi. lucu. Karena Rendika yang nge-gas kaya metromini pasar Rebo.

"Btw," Rendika kembali membuka suara. "Lu asli mana sih Lin?"

Gadis itu menjawab dengan cepat dan mantab. "Bandung lah."

"Bukan darah campuran ya?"

"Gue? Gak tuh." Jawabnya dengan keheranan mengangkat sebelah alisnya.

"Oh iya? Ko kayanya Half fine half mine gitu deh Lin."

Hanya dengan itu Alin bergidik, mengusap tengkuknya yang tiba-tiba saja bulu romannya berdiri karena rasanya terlalu cringe. Disambut kekehan Rendika, rasanya saat ini ia ingin menarik pipi Aileen karena reaksinya terlalu menggemaskan.

"Basi tau gak." Beo Aileen sembari memeras sepotong jeruk nipis, menyiramnya di atas bumbu kacang bercampur sambal. "Lain kali lebih kreatif Ren, pasti lu kebanyakan nonton 'Lapor Pak', kan? Atau sering scroll twitter yang drop your gombalan."

Rendika kembali terbahak, "Ke tebak ya?" cicitnya hanya untuk diangguki Aileen.

"Selain sate, lu gak bisa makan apa lagi?"

"Makan beling sih Ren, beneran itu gue gak bisa. Apalagi kalau belingnya kaca akuarium, tebel tuh."

"Yeeuh, dikira debus kali ah. Serius atuh lah."

"Emang kenapa sih? Berasa lagi ngisi kuesioner aja gue."

"Ya biar gue gak salah ngajak makan lagi." Lugasnya sedikit melirih di akhir kata. Ada sedikit penyesalan yang menyelip saat kalimat itu mengudara. Kalau saja dia bertanya dulu dan tak sok ngide, mungkin dirinya tak berakhir di sini dengan sepiring sate Aileen yang tak kunjung habis.

"Lu sendiri gimana?"

"Hm.. Gue gak bisa makan buah nangka."

"For real?" Pekik Aileen membelakkan mata disertai anggukan Rendika, pemuda itu sedikit kikuk dengan reaksi Aileen sembari menggaruk pelipisnya.

"Aneh ya?"

Aileen menggeleng cepat. "Cuma gak nyangka aja, kirain lu pemakan segala. Apa yang salah sama nangka sih Ren? Itu buah manis loh kaya gue." Gurau Aileen dengan kekehan renyah sedikit meledek Rendika.

"Gak tau, aneh aja menurut gue." Sambungnya, sementara tangannya mengibas—memanggil badut yang sibuk dengan segenggam balon warna-warni. Mau tak mau Aileen ikut melongok ke arah yang dituju netra legam Rendika. Namun sedetik kemudian ia melantingkan pandangannya dengan gelisah. Badannya kaku dengan mata yang terpejam erat. Aileen takut badut.

"Ren, bisa gak belinya agak jauhan?" Pintanya memohon.

Rendika menoleh cepat dan beranjak dari kursi, melihat Aileen masih enggan mengintip membuat pemuda itu harus berdiri dan menutupi jarak pandang Aileen dengan badannya agar tak melihat badut kostum beruang.

"Takut badut?"

Disertai anggukan, Aileen sedikit melirik ketika Rendika merogoh koceknya dalam-dalam dan menarik lembaran uang kertas.

"Padahal lucu." Imbuhnya sembari mengulurkan satu balon berwarna kuning untuk Aileen.

Gadis itu beringsut membenarkan posisi duduknya. "Ngeri tau, kaya lu pernah bayangin gak sih di balik topeng badut itu orang lagi pasang ekspresi apa? Mereka nangis, mereka marah, mereka seneng. Gak ada yang tau kecuali mereka sendiri dan itu bikin gue takut. Hidup di balik topeng."

"Kebanyakan nonton film horor nih ah. Bukannya itu yang harusnya bikin kita lebih menghargai perasaan orang ya Lin? Maksud gue, bahkan di kondisi dia gimana pun, dia tetep berusaha bikin orang lain seneng lewat kostumnya. Dia dadah-dadah di jalanan yang panas banget padahal lagi haus, laper. Tapi begitu ada anak kecil yang senyum doang ngerespon mereka, orang lain yang lewat juga ikut seneng."

Gadis itu tertegun, ia tak pernah memikirkan sudut pandang lain untuk memahami sisi ini. Yang ia fokuskan hanya rasa takut, cemas dan panik setiap melihat mereka berdiri di pinggir jalan dan lampu merah. Padahal mereka tak pernah berusaha mendekati maupun menyakitinya. Seumpama mereka berjalan pun masih kalah cepat dengan Aileen yang berlari terbirit menyelamatkan diri. Yang bisa dilakukannya hanya mengangguk lamat, menyadari cara berpikir Rendika yang agaknya bijaksana.

"Harga satu balon gini berapa sih Ren?" Dengan hati-hati, netranya memindai balon dan wajah pemuda yang lumayan enak dipandang di depannya. "Uang segitu bisa buat beli satu pack kayanya." Sambungnya.

Rendika menaikkan sebelah alisnya sebelum akhirnya terkekeh memahami maksud pertanyaan Aileen.

"Ngasih mah, ngasih aja Lin. Gak usah mikirin dia gini-gitu. Kaya kata lu tadi, kita kan gak tau keadaan yang bikin dia harus kaya gini. Dia lagi laper atau haus. Sedih atau seneng. Kalau niat kasih ya udah ikhlasin."

Pada warung sate pinggir jalan, hari ini Rendika banyak tertawa menikmati baluver dengan Alin di hadapannya. Syahdu. 

Tak pernah terbayangkan, ternyata mereka sudah sejauh ini. Bisa makan berdua begini saja sudah menjadi kemajuan pesat untuk Rendika menggencarkan taktik pendekatannya. Perlahan, membuat Aileen jatuh nyaman adalah prioritasnya. Sebab luka yang baru dirasakan Aileen cukup membuatnya ketakutan untuk terbuka atau bahkan disentil saja Aileen bisa langsung berkaca-kaca.

"Fun fact hari ini; Aileen gak suka sate, Aileen takut badut. Satu lagi, Aileen otw suka gue." Jabarnya dengan kerlingan menggoda disambut gelak cerah sang pemilik rupa ayu.

"Idiiih, PD mampus deh."

ᴥ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
IRIDESCENT [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang