Kijang satu

139 40 33
                                        

Kidzone tentunya tengah ramai di jam seperti ini--malam akhir pekan. Arena permainan anak yang pastinya di dominasi para kurcaci menggemaskan dan penjaganya masing-masing, siap siaga. Sorak sorai kegembiraan bercampur para orang tua yang geleng-geleng kepala, kebanyakan dari mereka pening serta kewalahan menghadapi full baterai buah hati mereka.

"Gak cape Bang?"

Begitu pula Wendy, berkali-kali memejam saat matanya kelelahan mengekori gerak Kylo. Anak itu sibuk putar sana-sini. Padahal satu jam sudah lewat dan anaknya masih semangat teriak kegirangan sambil sesekali menyapa teman sepermainannya.

"Sini, minum dulu." Ia bangkit membawa sebotol air mineral dan sedotan, me-refill dahaga anaknya.

"10 menit lagi kita pulang ya, udah malem."

Tak ada jawaban dari Kylo, malah anaknya sudah berlari sebelum Wendy merampungkan ucapannya. Alhasil, Wendy hanya bisa tersenyum pasrah dan kembali ke kursi panjang, menunggu anak semata wayangnya lelah.

"Pulang yuk Bang." Panggilnya lagi setelah melirik arloji di tangan kirinya, sebentar lagi Mal bahkan akan tutup--tanda malam semakin larut. Lirikan pegawai semakin membuatnya keki, hanya tersisa Kylo karena sebelumnya anak lain sudah berbondong-bondong meninggalkan arena yang separuhnya sudah dimatikan.

Kylo berhenti menatap Mamanya, lalu menggeleng dan berlari semakin jauh memasuki arena. Rasa asyiknya tak kunjung padam. Maklum, di rumah biasanya hanya main dengan Oma atau Mahen karena status Wendy yang single parent dan wanita karir, sibuk mengurus kerjaan di butiknya. Jadi, ketika anak itu punya kebebasan waktu, rasanya enggan lekas disudahi.

Dari kejauhan, dari balik kaca tembus pandang, sepasang mata masih setia mengekori gerak keduanya. Cukup lama berdiri di sana, hingga Wendy berbalik--merasa ada yang mengawasi. Keduanya, saling beradu sorot keterkejutan cukup lama.

Gerakannya menjadi tergesa-gesa, sedikit menggendong paksa anaknya yang mulai rewel tak ingin pulang.
Sosok yang setia mengekori pergerakan Wendy, dengan tangan yang meragu meraih lengan yang masih bergulat dengan anak kecil itu.

"Wen, apa kita gak bisa ngobrol dulu?"

Tak jauh berjalan keluar, satu pergerakan tangan yang membuatnya terhenti tiba-tiba. Wendy memburu, aliran darahnya, emosinya, pikirannya berkecamuk dengan dada yang mulai sesak.

"Lepas." Tukasnya. Satu kata sarat rasa tak nyaman dengan sorot yang sulit didefinisikan dalam satu waktu. Tapi tak membuat cengkeraman tadi lepas begitu saja.

Tangan kekar Johnny yang tiba-tiba berada di sana menengahi, berusaha melepas tangan lain yang membuat wanitanya tak nyaman. Tatapannya jelas tak suka, menatap intens lawan bicara yang lebih pendek di depannya.

Dengan rahang mengeras, satu tembakan laser dari matanya membuat sang lawan terpicu sengit. Beradu tatap cukup lama, membuat suasana mencekam bagi beberapa pegawai yang urung melanjutkan kegiatannya. Seolah satu pemantik dapat menyulut kebakaran hebat di sana, atau bahkan mungkin jika dibiarkan di satu tempat yang sama, salah seorang dari mereka dapat kehilangan nyawa.

"Saya gak tau apa masalah anda, tapi dia gak nyaman. Tolong dilepas."

Yang memulai, mengakhiri. Begitu cengkraman dua lelaki tadi sama-sama lepas, Wendy beranjak begitu saja, diiringi langkah lebar Johnny dengan kaki jenjangnya.

Tian tak beranjak dari tempat semula, terpekur dalam tatap lekat.

∞ ᴥ ∞

"Aku jahat kan Hen?"

Mahen memutar kepalanya dengan cepat, malam Minggu pertamanya dengan Daniela mendadak gloomy. Pacarnya kini tertunduk lesu dengan sorot mata sayu.

IRIDESCENT [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang