Menolak lupa

60 16 22
                                    

"Gue bacain ayat rukiyah, enyah gak lu?"

Tangannya yang sibuk mengeringkan gelas-gelas kaca kini sudah berpindah, melemparkan lap butut itu ke arah manusia di depannya. Jengkel.

Hari kerjanya selalu kedatangan pelanggan tetap yang kehadirannya sebetulnya tidak ada benefit untuk kafe, malah bisa dibilang, rugi.
Kalian pasti tahu siapa oknum yang suka kasbon, ke mana-mana gak bawa dompet. Iya, Haekal anaknya pak Johnny juragan eksportir buah. Tajir melintir gak bakal bikin bangkrut kalau cuma beli kopi segelas sama pisang goreng, tapi ya namanya hobi mendarah daging kalau ada yang menguntungkan diri sendiri, why not?

Sebenarnya Jean sudah lama part time di kafe. Selain untuk mencari tambahan uang jajan, dia juga harus memenuhi kebutuhan hidupnya yang sudah tak ditanggung orangtua. Meski tidak sepenuhnya full part time—hanya bekerja kalau lagi mood. Tapi yang punya kafe gak ada masalah, orang kerjanya cuma bantu-bantu, ya gajinya juga bantu-bantu. Hehe.

"Ngusir muluu, heran gue. Udah, lu kerja sono yang bener."

Lap tadi yang sempat bertengger di bahunya, berakhir di meja Haekal yang kali ini gilirannya mengelap tetesan embun bekas es kopinya.

"Lu pengangguran? Apa jangan-jangan temen lu cuma gue aja? Gak ada kerjaan lain apa, selain ngerecokin gue kerja?" cecarnya.

Haekal masih dengan tampang santainya, menyeruput es kopi gratisan promo voucher Sophi.

"Gue menyejahterakan perekonomian lu ye."

"Modal voucher banyak lagak lu, kiranya gak mau cash, transfer aja ke rekening gue. Ini kafe bukan badan amal Kal, tiap ngaso minta gratis mulu."

Jean menggerutu hebat, padahal biasanya paling malas mengomel panjang lebar soalnya telinga Haekal mirip debusnya Limbad, ibarat besi panjang dicoblosin telinga, bolongnya tembus sampe tol Cipularang.

Yang diceramahi hanya bisa nyengir kuda, ya memang hobi lamanya baru kambuh akhir-akhir ini dan semakin jengkelin parahnya, sekarang setiap ngaso sekalian cari koneksi gosip terbaru. Sambil menyelam kenyang air. Mana kalau udah pantatnya nemplok lama banget gak pindah-pindah, Jean yakin kursi-kursi malang yang diduduki Haekal meronta-ronta ingin cepat istirahat dari menahan beratnya dosa dan panasnya gaya gesekan yang ditimbulkan seorang Haekal.

"Bos, boleh ngusir pelanggan gak? Dia gak guna banget di sini, cuma ngabisin biji kopi."

Jean memohon pada Gama, anak Timur dengan rambut keriting ikal dikuncir atas. Kulit khas eksotisnya menambah kesan macho. Lelaki yang berstatus penanggung jawab kafe, tengah sibuk dengan mesin espreso terkekeh setiap kali mereka cekcok. Hiburan, katanya.

"Bengeut sia! Bos aja santai, ko lu yang jadi heboh gini."

Pintu kaca yang dibuka bersama suara kerincing lonceng membuat Jean kembali memasang senyum kapitalisnya, melupakan sejenak makhluk di depannya yang tadi membuatnya ingin adu smack down.

"Halo Teh."

"Loh?"

"Sama—" Haekal terdiam, tak berani melanjutkan kata.

Tiga manusia yang tadi mengangkat suara sama-sama hening setelah beradu pandang. Para penonton pun ikut bingung, ada drama apa ini.

Pelanggan yang sempat tertegun di pintu melanjutkan langkah santainya dan duduk menjauh dari koloni dekat bar, mengindahkan sosok Haekal yang heboh sendiri. Disusul Jean yang memainkan perannya sebagai pegawai teladan.

"Kaya biasa Bang?" tebaknya pada pelanggan jangkung—lelaki yang memesan menu yang sama acap kali datang kesini.

"Lu gimana Rin?"

IRIDESCENT [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang