"Makan dulu."
Denting piring dan sendok yang bertabrakan menjadi harmoni pada rumah yang sudah bertahun-tahun lalu sunyi, dibiarkan sepi pemiliknya.
Bukan karena tak ditinggali, tapi lebih ke—tak ada cerita berarti yang dibangun bertahun-tahun silam. Cerita yang terhenti pada 13 tahun lalu, bagi anak muda yang sekarang beranjak mengurung dirinya di kamar petak.Rumah singgah, lebih cocok disematkan pada bangunan yang cukup luas untuk ditinggali berdua. Bukan rumah tinggal. Karena memang bagi mereka, fungsi rumah bukan lagi untuk ditinggali.
Johnny kembali melanjutkan acara makannya yang sempat terhenti, ketika mendapati Haekal seperti biasa; tak acuh setiap Johnny berusaha memulai obrolan.
Dari dalam kamar, terdengar gaduh riuh barang-barang yang dilempar sembarangan hingga raungan sang empu yang terdengar frustasi, memaki pada udara atau mungkin dirinya sendiri yang tak kunjung menemukan apa yang ia cari—membuat Johnny harus menghela napas panjang sambil menyugar rambutnya yang disemir hitam. Rasanya seperti dirinya yang tengah disumpahi oleh anak muda itu.
"Nyari apa?" tanyanya setelah beranjak dan ikut melongok dan tentu saja seperti biasa, Haekal memilih menuli dan membisu.
Johnny menatap Haekal dengan sukar setelah mendengus kasar. Ada pendar yang meredup pada sepasang mata tuanya. Lagi-lagi keberadaannya seolah tak bernilai apa-apa bagi Haekal.
Sebetulnya akhir-akhir ini Johnny sedikit meluruhkan gengsinya dengan berusaha memulai obrolan singkat, tapi Haekal tetap kukuh pada bentengnya. Obrolan singkat yang tak pernah berlangsung lama."Mau sampai kapan kamu gak mau ngomong sama Papa?"
Bukannya Bapak yang mulai? Haekal membatin.
Fokusnya masih sibuk berlarian mencari dompet kulit yang berisi satu lembar uang kertas warna biru."Don't act childish, Haekal. Kamu udah gede! Okelah kalau kamu masih marah sama Papa, tapi sampai Tante Wendy jadi gak nyaman gara-gara kamu gak punya sopan. Manner kamu tuh buruk banget."
"Ngomong apa sih? Emang biasa aku kaya gini kan?" Haekal mengerang kesal, "kenapa aku harus sungkan sama tamu Bapak? Kenapa aku harus peduli dengan urusan Bapak, sedangkan Bapak sendiri gak pernah sekalipun peduli sama aku. Dari kecil!" katanya penuh penekanan.
Rasa panas dalam sekejap naik sampai ubun-ubun, deru napasnya tersengal menahan sesak aliran darah yang berjalan begitu cepat melewati jantung. Haekal mencoba menarik napas dengan susah payah. Haekal mendidih.
Katanya jangan bertingkah seperti bocah. Katanya dia tak punya sopan santun. Tentu saja sakit hati, mengingat selama ini ia memang tak pernah belajar apa pun dari papanya selain; tidak peduli.
"Sama kaya Bapak, aku gak peduli. Jadi jangan banyak nuntut ini itu dan berharap aku tiba-tiba anak penurut buat nyelametin harga diri Bapak. Gak penting."
Mencelos. Rasanya jantungnya melompat ke aspal dan diinjak dengan jijik. Johnny benar-benar tak menyangka perkataan Haekal sangat menyakitinya. Tak ada tanda-tanda pembelaan diri selain Johnny yang menunduk sangat dalam dan Haekal yang masih terpaku dengan kepalan tangan.
"Maaf..." lirihnya hampir tak terdengar, kemudian Johnny mengangkat kepala. Helaan napas berat dan panjang terdengar begitu nyaring malam ini. Rasa bersalahnya kembali menari memenuhi pikirannya. Rambut semir hitamnya yang mulai memutih, disugar kebelakang menutupi kecanggungan di antara mereka.
Pada tempat Haekal berdiri, anak itu mengangkat sebelah alisnya naik dengan tinggi, seakan saat ini mempertanyakan hal apa yang harus membuat lelaki paruh baya itu meminta maaf—atau lebih tepatnya apa yang harus dimaafkan dari Papanya.
"Maaf kalau Papa gak pernah ada buat kamu." Sesaat, Johnny mendekat. Mencengkeram bahu Haekal dengan bergetar kemudian menepuknya pelan.
Johnny dengan wataknya yang keras, bukan berarti ia tak pernah peduli dengan Haekal. Anak semata wayangnya.
Siapa yang tiba-tiba membatalkan tiket bisnis dan berlari ke kantor polisi saat Haekal tertangkap tawuran, padahal 20 menit lagi pesawat take off. Siapa lagi kalau bukan Johnny, ketika Haekal harus dilarikan kerumah sakit, di tengah meeting ia harus pulang secepatnya untuk sekedar melirik anaknya dari luar pintu kaca. Membayar tagihan dan kembali menuntaskan pekerjaannya. Anak itu selalu badung dan membuat onar. Di atas segala kepentingannya yang genting, Haekal masih tetap menjadi prioritas Johnny. Selamanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT [NCT]
Ficção AdolescentePerasaan itu ibarat warna, kadang biru kadang abu-abu. Tapi karena warnawarni itu hidup jadi lebih layak disyukuri. Kenapa? Ya karena cinta aja gak cukup. Ada banyak hal kompleks yang bertumbuh bareng perasaan lain. #7-gfriend 19/10/22 #5-gfriend 21...