Ngopi

114 28 27
                                    

"Gak bawa duit lagi lu?"

Haekal meringis, menggaruk ujung pelipisnya yang tidak gatal menanggapi Gibran. Biasa, kelakuan Haekal kalau setiap nongkrong alibi gak bawa dompet.

Gibran yang baru saja datang membeli nasi goreng, meletakkan bungkusan itu di meja tanpa mempermasalahkan poin yang diusung Jean. Lagipula baginya uang tak jadi masalah, pertemanan mereka ini bahkan bisa membuatnya jadi garda depan kalau-kalau masalah serius menyenggol kedamaian circle ini.

"Nyengir lu." Sewot Rendika. Hapal betul kelakuan konconya satu ini. Rendika masih sibuk dengan gawainya, membalas grup chat keluarga pak Ren yang tumben lagi ramai.

Malam Minggu, malamnya anak muda. Iya, empat sekawan yang tengah berkumpul di warung kopi dari tadi sibuk sendiri. Ribut mencari keributan.
Masing-masing meraih bungkusan nasi dan mengunyah dengan hikmat.

Di luar, warung tidak terlalu ramai. Hanya orang-orang tertentu yang biasa mampir karena memang tempatnya yang agak terpencil dari jalan utama. Yang jual juga tidak ada masalah dengan para anak muda ini yang beli makan dari luar, toh pamannya memang hanya jual minuman ringan dan gorengan.

"Ngapain Je?"

Gibran melirik Jean mengetik sesuatu, lalu lelaki itu menunjukkan ponselnya tepat di muka Haekal, agar bocah itu tahu dan melihat dengan jelas.

"Ngitung utang lu, ege!" Serunya dengan muka kesal, sebab di antara ketiga temannya yang lain, Haekal ini paling perhitungan tapi kalau dihitung balik gak terima. Ibarat napas, mau menghirup gak mau ngeluarin.

Haekal melihat ponsel Jean dengan muka datar, sebelum seringai jahil terpampang.
Sebab sebelum sebuah getar notifikasi telepon masuk, dia sudah lebih dulu sigap menyambar dan menekan tombol jawab.

"Saha?" Begitu sapanya, menanyakan siapa gerangan di ujung sana yang menelepon seorang Jeansyah kadrun fakultas.

Membuat Jean yang sadar mendadak berdiri dan mengejar Haekal yang membawa lari ponselnya, mirip seperti romantisasi film India, bedanya saat ini Jean sedang emosi.

"Jabingan, balikin setan!"

Haekal berlari dengan ponsel Jean yang masih di telinga.

"Bela?" Serunya bertanya, sedikit menaikkan suaranya. Agar para bocah yang yang masih anteng di persinggahan mereka mendengar. Dengan muka kepo, Gibran dan Rendika bertukar pandang. Saling mempertanyakan nama gadis asing mana lagi kali ini yang playboy ini singgahi.

"Anjeng!" Umpatnya setelah berhasil merebut kembali ponselnya yang sudah terputus.

Haekal tertawa puas, berjalan kembali menuju kursinya. Sedang Jean mengatur napasnya yang megap-megap, lelah dibawa berlari.

"Ganti lagi Je? Amira merah delima pinokio, siapa yang baik hati Cinderela, tentu disayang Mama di kemanain?" Gibran bertanya komplit dengan nada lagu lawas anak-anak, putih-putih melati.

"Udah putus kali, tadi malem."

Respon mereka tak jauh-jauh dari gelengan kepala dan mengelus dada masing-masing. Hal lumrah.

Kalau Gibran banyak yang naksir tapi memilih sendiri, beda dengan Jean yang memang suka gonta-ganti pacar. Entah dikoleksi atau bagaimana, yang pasti lelaki itu bisa dengan gampangnya putus dan memulai hubungan baru.
Jadi, di antara perkumpulan ini, tak ayal Haekal merasa dirinya paling benar dan waras.

"Geuleuh sia!" Umpatnya. "Ini barudaks gak ada yang waras apa ya? satunya friendzone level bon cabe, yang ini playboy edan, satunya doyan batangan. Emang gue yang paling bener udah"

"Sok iye lu jones." Gibran menyahut, sedang Rendika tak menghiraukan, baginya omongan Haekal hanya angin lalu yang tidak layak ditanggapi.

"Ett, et! Sorry, gue lagi gerilya."

IRIDESCENT [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang