Sevillage layaknya sepercik surga dunia bagi jiwa-jiwa musafir yang mencari kedamaian. Wisata alam yang membentang sepanjang mata memandang, hijau menenangkan. Di sini tidak terlalu sepi, tidak juga terlalu pikuk.
Kalau manusia yang terdampar di sini dikategorikan 3 jenis: Sekedar mencari suasana baru, healing dan rehat dari hiruk-pikuk duniawi, atau para jiwa yang tengah mencari pelarian.
Wendy—wanita itu bisa mencakup semuanya.Satu jam sudah berlalu, pada cottage berdinding kayu dengan pintu kaca. Wendy menatap lurus dengan hambar, hamparan hijau berpadu arak-arakan awan dan membiru, karya sang Pencipta; karya yang kali ini gagal membuatnya takjub.
Bisa dibilang ia tidak sedang menikmati pemandangan. Dari balkon, di kursi kayu dengan sebungkus permen jeli yang ia beli sewaktu mampir di rest area, ia mengurai pelik yang meredam semangatnya akhir-akhir ini.
Helaan demi helaan napas dengan ritme yang sama seolah memompa dan melepas sebuah cabuh dalam dirinya.Sedang disebelah, seorang anak kecil duduk dengan begitu tenang, mendekap sebungkus permen jelinya. Matanya beberapa kali mengerjap diterpa semilir angin.
Kylo, namanya. Usianya baru 2 tahun. Dan ini liburan pertama mereka di puncak.Ditatap nayanika anak semata wayangnya itu bergantian, matanya membola gemas dengan pipi penuh jeli. Sejenak membuat ia menghela napas pendek. Diusapnya surai anak itu dengan tatapan paling hangat.
Tidak seperti batita pada umumnya yang biasa hiperaktif dan mengeksplor lebih banyak dalam masa tumbuh kembang. Anaknya terlalu tenang sampai-sampai dirinya kadang merasa gelisah, Kylo juga sangat jarang merengek ataupun menangis. Ia takut anaknya tumbuh dengan memendam emosi yang harusnya disalurkan.
"Abang laper gak? Coba liat disana, ada kafe." Wendy menunjuk sebuah kafe dihiasi dengan lampu neon sign yang padam dan beberapa pengunjung yang mengantre.
"Mau kesana?"
Kylo hanya mengangguk menatap lurus, menggenggam tangan sang Mama dengan jari kecilnya.
Siang menuju sore dan vila terlihat cukup ramai, beberapa penyewa juga terlihat berada dikawasan berpapasan dengannya. Ia berjalan melewati taman. Dinginnya puncak memang tidak main-main terasa menembus sampai tulangnya, padahal Bandung sudah cukup dingin baginya. Membuatnya dengan cepat melangkahkan kaki menuju kafe. Jaket tebal Kylo seolah melahap tubuh mungil anak itu, berjalan dengan kakinya yang pendek. Menggemaskan.
Begitu sampai, ia memilih duduk di pojok dekat pagar teralis menghadap luar dengan vanilla latte panas dan pisang keju. Sekarang sudah 20 menit berlalu sejak ia meninggalkan kamar vila dan kafe lumayan ramai.
Dominasi warna hijau khas puncak dengan udara yang segar menyusup mengisi penuh paru-parunya dengan ringan. Hari itu cuaca tidak begitu terik, tapi tidak juga bermuram.
Di tengah itu, seorang pria jangkung mendudukkan dirinya, menyandar pada kursi besi diseberang tak jauh dari mereka. Kemeja floral dengan celana beige warna krem. Rambutnya hampir menutup telinga dengan jenggot tanggung tipis-tipis dibiarkan diterpa angin.
Hanya karena lelaki itu terus menatapnya dengan aneh, membuat Wendy merasa risih. Gerak-geriknya membuat prasangka Wendy mencuat ketika lelaki itu beranjak berjalan mendekatinya.
"Wendy?"
Merasa terpanggil, ia pun menoleh lama. Menatap lamat mencari memorinya yang perlahan naik kepermukaan. Lelaki itu terasa familier, entah dimana ia pernah bertemu.
Hingga akhirnya matanya membola sempurna."John?! Johnny Suh?" Ia memekik girang, setengah tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Tergesa-gesa berdiri mengulurkan tangannya untuk dijabat.
Laki-laki yang dipanggil Johnny itu mengangguk heboh, mengamini bahwa dia memang Johnny yang dikenal Wendy. Ia menyambut uluran tangan dan memeluknya dengan hati menghangat. Matanya sibuk memindai dan mengerjap.

KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT [NCT]
Novela JuvenilPerasaan itu ibarat warna, kadang biru kadang abu-abu. Tapi karena warnawarni itu hidup jadi lebih layak disyukuri. Kenapa? Ya karena cinta aja gak cukup. Ada banyak hal kompleks yang bertumbuh bareng perasaan lain. #7-gfriend 19/10/22 #5-gfriend 21...