Usang yang asing

77 23 17
                                    

"Kaya biasa aja, gak usah sok harmonis." Jawaban Haekal tentu membuat berang Johnny yang baru saja mengajaknya berkenalan dengan Wendy.

"Haekal!"

"Apa?!"

Johnny mengangkat tangannya lebar ke udara sebelum pekikan Wendy harus membuatnya terhenti dan berakhir menurunkan kepalan tangan dengan erat.

"John?!" Wendy terperanjat menyaksikan Johnny yang kini tengah sekuat tenaga meredam emosi.

"How dare you. Siapa ngajarin kamu neriakin orang tua?"

Suara dingin yang menyapa gendang telinga Haekal harus membuatnya terkekeh remeh sekencang-kencangnya.
Ini obrolan terlama mereka setelah sekian dekade.

"Yang pasti bukan bapak, kan? Soalnya bapak gak pernah ngajarin saya apa pun."

Haekal melenggang sembari kembali memasang wajah datar, membawa tungkainya menjauh dari sana dan membanting pintu kamar sekeras mungkin hingga dentumannya memekakkan telinga, bahkan kaca jendela depan sedikit bergetar.

Jengkel rasanya tiba-tiba suasana rumah menjadi berbeda hanya karena satu wanita yang mungkin nanti akan menjadi pengganti Mamanya. Johnny, Papanya itu menjadi lebih banyak bicara, banyak meminta, banyak memberi perhatian yang menurut Haekal itu semua tidak perlu dilakukan.
Seharusnya Johnny membiarkan semua seperti tahun-tahun berlalu. Lagipula Haekal sudah terbiasa.

Lelaki paruh baya itu kembali, tersenyum sumir pada Wendy yang berada di ruang tamu. Menyayangkan wanita itu harus menyaksikan prahara rumah tangga Johnny yang kurang harmonis.

"Sorry." Sesalnya, sementara badannya sudah bersandar pada punggung sofa, mengusap wajahnya yang keruh.

Wendy menggeleng pelan memerhatikan gerak Johnny yang terlihat semakin tua. "Kalian ada masalah apa?"

"Gue yang salah."

Wendy menatap gamang. Lenguhan kasar berakhir sebelum akhirnya ia kembali membuka suara, ketika langkah Haekal menyapu gendang telinganya. Langkah kecil yang entah sejak kapan terasa lebih berat untuk didengar.

"Mau kemana?" Johnny mendongak, memerhatikan punggung anaknya yang kokoh. Baru ia sadari, ternyata anaknya sudah setinggi itu.

Haekal berhenti, membalikkan badan dan menatap mereka malas. Ia kembali melangkah pergi tanpa mengucap sepatah kata.

Sokab banget pak, biasanya juga gak peduli. Batinnya.

Haekal sengaja menggeber nyaring vespanya sebelum menarik tuas gas. Bulu romannya mendadak berdiri, bergidik ngeri ketika kembali mengingat Papanya yang akhir-akhir ini sering memerhatikannya.

Bukan apa-apa, ia hanya merasa tak biasa dengan perubahan Papanya yang tiba-tiba, seolah ingin akrab dengan dirinya. Padahal sejak kecil ia sudah terbiasa merasa diabaikan.

Ke mana saja selama ini Johnny ketika dirinya merengek meminta perhatian? Usianya saat itu bahkan masih 7 tahun. Kehilangan sosok Mama baginya seperti kehilangan sebuah tali penyambung. Mereka tak mungkin erat tanpa sosok Mama, hingga ia harus berakhir sendiri menggenggam ikatan yang sudah putus dengan hati getir. Berharap satu simpul dapat mengikat mereka kembali.

∞ ᴥ ∞

"Selamat subuh Teteh." Sapa Haekal, tungkainya menuruni anak tangga dari kamar lantai dua dengan wajah beler dan mata setengah tertutup, menggaruk perutnya dengan santai.

Iya, semalam Haekal menginap karena suasana hatinya aneh setelah pertemuan pertamanya dengan Wendy.

Menghabiskan hampir semalam suntuk dengan bermain PS sampai setengah dua pagi. Sedang sekarang masih jam 5 subuh, Arin di meja makan berkutat dengan laptop dan lembaran kertas sketsa di sana.

IRIDESCENT [NCT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang