Canda tak bercanda
Di ujung kafe dengan meja bar dekat jendela yang berantakan karena tumpukan buku. Dinding krem dan hiasan sederhana. Tanpa alunan musik, hanya suara hembusan Air Conditioner di ruangan dan denting jam dinding yang terus berdetak, tenang.
Dimas dengan hoodie hitam dan kacamatanya tampak sibuk mengerjakan tugas kuliah. Berulang kali membalik lembaran kertas di depannya, suara ketikan laptop yang terdengar kasar dan cepat menambah harmoni sunyi kafe waktu itu, sesekali ia menghela napas kasar.
"Ini kak pesanannya, silahkan." seorang waiter laki-laki tersenyum, matanya seperti bulan sabit sambil menyodorkan es kopi dan kue kering.
"Makasih."
Ini sudah es kopi keduanya sejak mendudukkan diri di kafe sore itu, agaknya hangat sore dan es yang mencair belum bisa mendinginkan pikirannya yang kacau. 2 jam berlalu begitu saja, dan tugasnya bahkan belum setengahnya selesai.
"Iyaaaa, sabar. Bawel banget, heran deh." Sayup-sayup seseorang berbicara ditelepon dan mendorong pintu kafe dengan badannya.
Tangannya penuh barang bawaan, ada buku seni dan beberapa lembar kertas karton di totebag-nya. Ia mematikan sambungan telepon sepihak lalu sibuk mencari sesuatu di sakunya."Ice Americano satu ya kak."
"Eh, Rin? sendiri aja?" sapa lelaki itu setelah beranjak dari kursinya dan melepas kacamatanya, penat. Ia menyudahi kegiatannya di kafe, seolah jiwanya disedot habis oleh tugas-tugas. Kalau bisa dilihat mata, saat ini sepertinya ada asap yang sedang mengepul di kepalanya.
Arin menoleh dan tersenyum simpul setelah mendapati Dimas—anak Desain interior sekaligus tetangga komplek. Lelaki itu berdiri di sebelahnya menyandar pada meja barista, sorot mata lelah tak bisa ditutupi. Dimas sering nongkrong di depan rumahnya bersama Yudha, abangnya. Membuat mereka saling mengenal meskipun tidak seakrab Yudha.
"Iya.. Abis nugas Dim?" Arin melirik buku-buku tebal Dimas. Ujungnya terlihat lecek dengan lipatan-lipatan tanda ia sudah berkali-kali disentuh—entah dibaca atau sekedar dibalikkan halamannya.
Dimas mengangguk, "Habis ini balik?" tanyanya hati-hati yang langsung disambut anggukan cepat dari Arin.
'Maju, mundur? Gas aja lah, aji mumpung.'
"Bawa motor?" Dimas masih menerka, siapa tahu kali ini kesempatannya bisa lebih dekat dengan Arin.
"Ojol sih, tadi pagi bareng Rendika."
"Ya udah sama gue aja, searah kan." tawarnya.
"Gak pa-pa nih? Tar ngerepotin lagi."
"Santai aja lu ah, kaya ga kenal gue aja."
"Hmm," Ia melirik gawainya. "Boleh deh. Tunggu pesanan gue bentar ya."
Hanya dengan itu, mengulum senyum tak lagi bisa disembunyikan. Bibirnya ditarik dengan lebar sampai batas maksimal.
Langkahnya yang ringan membawanya mendudukkan diri, di kursi kafe dekat pintu masuk, menunggu Arin dan Ice Americano-nya.
Mereka berjalan keluar melangkahkan kaki mendekati motor Dimas yang terparkir di depan kafe.
"Lu pake helm gih." Dimas mengenakan helmnya untuk Arin. Tangannya terulur ringan memasangkannya.
"Lah, yang bawa motor gue apa gimana?" Tanyanya, sebab yang ia tak mendapati helm lain disana.
"Ya gue lah, masa diboncengin cewek."
"Lawak nih, lu aja yang pake kan lu yang bonceng." Arin masih menatapnya heran, sedang berusaha melepas helm tapi dengan cepat kepalanya ditahan Dimas.

KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT [NCT]
Teen FictionPerasaan itu ibarat warna, kadang biru kadang abu-abu. Tapi karena warnawarni itu hidup jadi lebih layak disyukuri. Kenapa? Ya karena cinta aja gak cukup. Ada banyak hal kompleks yang bertumbuh bareng perasaan lain. #7-gfriend 19/10/22 #5-gfriend 21...