"Soraya?"
Sapa seorang pria, memastikan namanya. Rambutnya klimis dengan kemeja rapi khas orang kantoran. Parfumnya seolah menyebar di penjuru ruangan rumah makan, beradu dengan wangi rempah-rempah yang tengah dimasak. Dia berdiri tepat di depannya.
Aya menatap lelaki itu tak suka, meskipun tetap saja ia harus berpura-pura mengatur ekspresi wajahnya seramah mungkin.
Pada milyaran manusia, dan jutaan tempat. Aya berakhir di sini, di sebuah rumah makan yang sudah direservasi Mamanya untuk bertemu Tian siang ini.Kalau bukan karena dibohongi mamanya, sudah pasti sejak awal ia tak akan mau menginjakkan kaki hanya untuk menemui mantu idaman si mama.
"Kalau kamu gak nyaman, kamu bisa pulang aja. Saya mau makan." Ucapnya setelah baru saja mendaratkan pantat di kursi. Belum juga basa-basi, sudah masuk intisari saja.
Aya menjadi sedikit tertegun lalu terkekeh setelah memproses spontanitas tadi.
Bukannya tersinggung sebab laki-laki itu langsung berbicara ke topik utama dan menyuruhnya pulang, atau harga dirinya yang seolah turun; karena mungkin orang lain yang mendengar akan berpikir dirinya ditolak sebelum memulai kencan.Ia justru bahagia, ternyata ada orang yang mengerti dirinya tanpa mengatakan sepatah katapun.
Tian, laki-laki itu juga memikirkan hal yang sama; sama-sama tidak nyaman dengan kencan konyol ini.
Tian ini rekan kerja Papanya, pemilik perusahaan kepala sawit dan batu bara. Hanya saja orang lebih mengenalnya sebagai manajer di perusahaan IT. Memang umurnya jauh lebih muda dari Papa Aya, tapi tetap saja om-om. Umurnya bahkan kalau ditaksir hampir 40 tahunan.
"Oh, iya udah saya di sini aja, kebetulan tadi gak sempet sarapan pak-eh, mas?"
"Senyaman kamu aja manggil apa."
Aya mengangguk, dengan hati-hati ia bertanya.
"Bapak ko mau sih dateng kesini?"
"Emang apa yang harus bikin saya gak mau?"
Aya mengendik, malas berpikir. Kan ia bertanya untuk sebuah jawaban, bukan malah ditanya balik.
Tian melonggarkan dasinya, kerahnya dilihat sekilas pun rasanya sesak tak nyaman, seperti tercekik."Apa lagi selain bisnis." Ujarnya, tangannya sibuk membuka satu kancing kemeja paling atas.
Diam-diam Aya meringis. Dasar kapitalis, batinnya.
"Kalau kamu gak suka sama acara kaya gini, bilang aja sama Mama kamu kalau kita sama-sama gak cocok."
Lelaki itu dengan santai menyesap secangkir teh melati. Menikmati aroma dan kepulan panasnya.
"Bukannya kamu udah punya pacar?" Tuturnya lagi.
"Iya. Tapi kalau saya gak kesini nanti dibilang durhaka."
"Udah bukan jaman Siti Nurbaya, jangan mau dijodoh-jodohin."
Aya mengangguk lamat, menyetujui. Memang sih di jaman sekarang perjodohan dianggap kuno, apalagi ternyata dirinya yang menjadi kambing hitam. Memang berakit-rakit kehulu, kapan tenggelamnya kemudian. Begitu kira-kira pepatah yang cocok untuk dirinya yang seperti kambing congek.
Ia masih dongkol perihal mamanya yang selalu keukeh untuk menjodohkan Aya sesuai selera beliau."Ehem, jadi bapak sama yang kemarin juga karena bisnis?"
Meskipun Aya tahu ini bukan etika yang bagus dalam perbincangan, apalagi tiba-tiba mengorek masa lalu seseorang. Tapi saat ini ia sudah kepalang penasaran. Ia juga perlu referensi realitas rumah tangga seperti apa yang dijalani beberapa orang, sehingga ketika ia hidup bersama pasangannya kelak, ia tak terlalu latah menghadapi masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT [NCT]
Roman pour AdolescentsPerasaan itu ibarat warna, kadang biru kadang abu-abu. Tapi karena warnawarni itu hidup jadi lebih layak disyukuri. Kenapa? Ya karena cinta aja gak cukup. Ada banyak hal kompleks yang bertumbuh bareng perasaan lain. #7-gfriend 19/10/22 #5-gfriend 21...