XXXIX [Roccia (1)]

6.8K 950 5
                                    

ఇ ◝‿◜ ఇ

Happy Reading

ఇ ◝‿◜ ఇ

"Lo liat gak si kacamata itu kemarin di marahin sama orang tuanya?"

Rio tersenyum simpul. "Gue liat. Siapa suruh nantang gue? Sekarang dia jadi kena getahnya," ucapnya. Terakhir ia memberinya pelajaran dimana Aludra menahannya.

"Lagian itu anak kenapa sih cari masalah terus sama lo?" tanya David, teman Rio.

Rio mengedikkan bahunya acuh. "Entahlah. Iri kali sama gue," celetuknya sambil tertawa.

Si kacamata, kalian pasti pernah mendengarnya. Ia adalah orang yang menyebarkan fitnah tentang Rio mengenai beberapa pelecehan.  Entah lah maksud dari perlakuannya itu. Rio menduga bahwa si kacamata itu melakukan hal itu karena ayahnya dan ayah Rio adalah rival di rumah sakit itu. Tunggu, bukan ayah Rio yang menjadikannya rival, justru kebalikan. Dia ingin ayahnya dipandang lebih dibanding ayah Rio. 

Untunglah ayah Rio mengerti bahwa anaknya terkena fitnah tersebut, ia sudah mengurus semuanya. Dan hasilnya adalah Rio yang menang. Si kacamata itu salah mencari masalah dengan seseorang.

"RIO!!"

Suara teriakan menggelegar dari belakang tubuhnya. Kedua orang itu otomatis menoleh ke belakang untuk mengetahui orang tersebut.

Bu Lora yang memanggilnya. Sepertinya ini pertama kalinya ia dipanggil seperti itu oleh guru. Ia terlihat bingung, mengapa Lora memanggilnya? Padahal saat itu sudah pulang sekolah dan mereka bersiap untuk pulang ke rumah.

"Ada apa, Bu?" tanya Rio sopan.

Bu Lora melepaskan heels-nya dan memijat area pergelangan kakinya. Untuk menjaga keseimbangannya, ia menahan satu tangannya pada bahu Rio. "Untung kamu belum pulang." Ia memasang sepatunya kembali. "Saya mau minta tolong kepadamu," pintanya.

"Minta tolong?"

Bu Lora mengangguk. "Saya mau menjadikanmu model buat ekskul seni hari ini," ucapnya sambil tersenyum.

"Saya?" Rio menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, kamu. 'Kan saya panggil kamu tadi."

David menahan tawa saat mendengar permintaan Bu Lora. Rio? Menjadi model? Itu akan merusak image-nya sebagai cowok. Apalagi Rio adalah seseorang yang memiliki gengsi yang besar, pasti ia menolak tawaran tersebut.

Rio tersenyum canggung. "Engga deh Bu. Saya gak mau," tolaknya. Ia tidak pernah menjadi model sebelumnya dan menurutnya itu sangat memalukan.

"Yakin?" Bu Lora memundurkan langkahnya. Ia menilik proporsi badan Rio sambil mengarahkan tangannya. Ia menyipitkan matanya sebentar, "Saya membutuhkan orang sepertimu untuk menjadi model," bujuknya.

Rio tetap kekeuh dalam pendiriannya, "Engga Bu. Ibu bisa cari orang lain, jangan saya," tolaknya sekali lagi.

Bu Lora merentangkan tangannya. "Apa kamu melihat seseorang disini?" tanyanya.

Rio mengedarkan pandangannya. Tidak ada seorang pun disana. Ia lupa saat itu adalah waktu pulang sekolah. Sudah jelas tidak ada orang di sekelilingnya. Mungkin ada segelintir orang di sekolah karena harus melakukan ekstrakurikuler.

"Bagaimana kalau saya kasih penawaran?" pinta Lora.

Alis Rio terangkat. "Penawaran?"

Bu Lora mengangguk. "Anggap saja ini bisa menjadi nilai tambahan kamu untuk di rapor," ucapnya. "Jarang sekali saya memberikan penawaran seperti itu." Bu Lora tersenyum licik.

Cassiopeia ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang